Sabtu, 17 Januari 2009

Virus Baru Pemikiran Kontemporer

Mengenal Virus Pemikiran Kontemporer

Liberalisme dan sekulerisem diibaratkan seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya adalah produk yang selama ini selalu menjadi momok yang "menakutkan" bagi kalangan agamawan, karena keduanya merupakan virus pemikiran kontomporer yang tidak hanya hadir secara teoritis tetapai sudah masuk kedalam tahap aplikasi.
Sekulerisasi dan liberalisme mendapatkan tempat yang nyaman di barat, dan melalui kedua gerakan tersebut barat mampu mendapatkan kemajuan di berbagai bidang, sehingga tidak heran jika ummat Islam pun kepicut untuk mengadopsi keduanya untuk meningkatkan diri dari keterpurukan.
Berbicara liberalisme tentunya juga harus membawa isu sekularisme itu sendiri, karena keduanya pada hakekatnya adalah dua upaya yang memiliki tujuan yang sama. Kedua-duanya memiliki orientasi yang tidak bisa terpisahkan satu dengan yang lainnya,
Isu-isu leberalisme yang menyeruak ke permukaan saat ini sudah merupakan suatu bahan yang tidak dapat lagi kita kesampingkan dalam dunia intelektual, baik itu secara ekplisit maupun implisit. Walaupun sejatinya hal tersebut bukanlah hal baru atau juga bukan paradigma yang muncul secara kondisionil. Begitu juga dengan keberadaannya di Indonesia saat ini yang ternyata membuat kaum intelektual berusaha sekuat tenaga untuk menahan arusnya yang sangat deras merasuk ke berbagai aspek kehidupan ummat muslim khususnya. Kehidupan liberal yang merebak bak jamur di musim hujan di barat sana ternyata sudah tidak mengenal tanah kelahirannya lagi dikarenakan ummat Islam itu sendiri yang sudah menganggap liberalisme itu sendiri bukan lagi tamu yang harus diwaspadai, bahkan lebih parah dari itu sudah menganggapnya sebagai Ahlulbait dikarenakan mereka sendiri yang mengakplikasikannya di dalam segala aspek kahidupan sebagai pedoman tunggal yang mau tidak mau harus mendasarinya.
Sekulerisasi dan liberalisasi telah lama diperbincangkan keduanya menebarkan kekhawatiran bagi ummat beragama karena dianggap bertentangan dengan wahyu. Namun bagai telah menggurita, kedua hal ini telah tanpak menunjukkan taringnya dan digandrungi masyarakat global. Itulah sebabnya kalangan agamawan tak henti-hentinya menangkalnya dan berupayan melindungi ummatnya dari pengaruh dua hal tersebut.
Dengan banyaknya penyelewengan atas nama agama, maka merupakan sesuatu yang sangat esensial untuk menguak dan membeberkan nilai di balik liberalisme dan isme-isme yang lainnya yang singkron dengan hal di atas. Maka judul diatas penulis kira sangat pas untuk menganalisa segala macam bentuk penyelewengan atas nama agama tersebut, sehingga akan mempermudah kita dalam mengindentifikasikan virus yang terkandung di dalamnya.
Liberalisme yang marak kembali pada akhir-akhir ini tentu sangat meresahkan kita, ummat muslim, maka dari itu dari pembahasan kali ini penulis ingin mengungkap permasalahan di sekitar liberalisme itu sendiri, Apa nilai yang tersembunyi di balik itu semua?
Dengan maraknya praktik penyimpangan yang terjadi akhir-akhir ini dengan agama sebagai backgroundnya, maka sudah semetinya kita sebagai ummat muslim untuk lebih sedikit sensitive dalam menghadapi bentuk ancaman-ancaman terselubung tersebut. Dan tulisan ini sangat memungkin kita untuk menumbuhkan sensitivitas tersebut dalam guna mencegah terpelosoknya ummat lebih jauh sehingga mengakibatkan kehilangan sksistensinya di dunia ini sebagai khalifah.
I. Liberalisme dan Sekularisme Secara Etimologis
Liberalisme secara etimologis berasal dari bahasa latin, Liber, yang berarti bebas atau merdeka. Hingga abad ke 18 Masehi, istilah ini masih terkait dengan konsep manusia medeka semenjak lahir, ataupun setelah dibebaskan dari perbudakan. Sedangkan dalam perspektif filsafat, liberalisme beraarti sistem atau aliran yang menjunjung tinggi kebebasan dan kemerdekaan individu dan memberikan perlindungan dari bentuk penindasan. Lawan aliran ini adalah obsolutisme kekuasaan, despotisme atau aliran otoriter. Dan tentunya hal ini tidak hanya berlaku dalam bidang sosial saja tetapi juga telah merambat kedalam bidang agama. Jika didalam bidang agama, liberalisme berarti kebebasan menjalankan, menyakini dan mengamalkannya sesuai dengan selera masing-masing dan menjadikannya sebagai urusan individu.
Sedangkan sekulerisme berasal dari bahasa latin, saeculum, yang berarti zaman sekarang ini. Meurut Harvey Cox, seorang teolog dan sosiolog dari Harvad University, disebabkan kata “dunia” di dalam Latin maka istilah yng berbeda, yaitu mundus dan sauculum , maka kata dunia di dalam bahasa latin menjadi kata yang ambivalent. Ambivalensi kata “dunia” ini menurut Cox sebenarnya mengungkapkan problem teologis yang dapat ditelusuri kembali dari perbedaan konsep antara Yunani dan Ibrani. Orang Yunani kuno memandang realitas itu sebagai suatu ruang, sementara dalam bahasa Ibrani dunia itu menunjukkan suatu masa. Sebenarnya menurut Cox, inti dari makna “sekuler” itu sendiri adalah konteks dunia berubah terus-menerus. Dan akhirnya berujung pada kesimpulan bahwa nilai-nilai keruhanian relatif.
Sedangkan berdasarkan perspetif religius, sekular memiliki arti netral, atau “sepanjang waktu yang tak terukur” dapat pula bermakna negatif yaitu “dunia ini” yang dikuasai setan. Sedangkan menurut Naquib Al-attas perlu diketahui bahwasanya dalam Islam pun kata “’Ilmaniyah” pada dasarnya tidak lagi relevan dan tentunya hal tersebut lebih cocok dan dekat dengan kata “al-waaqi’iah” .hal tersebut dikarenakan dalam kata-kata sekularisme tidak berhadapan dengan ilmu dan tentunya sangat tidak relevan jika diartikan dengan “‘ilmaniah” dan sangat disayangkan jika hal tersebut semakin menancap dalam benak dan pikiran orang Islam.

II. Akar Historis dan Paham Sekulerisme liberalisme
Kekacauan yang saat ini menyelimuti dunia menurut Naquib Al-Attas adalah merupakan buah dari hegemoni dan dominasi keilmuan sekuler barat yang mengarah kepada kehancuran ummat manusia yang menganggap kebenaran fundamental dari agama dipandang sekedar teoritis, kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima, tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya adalah penegasian tuhan dan akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan tuhan dimanusaikan “God is human intelligent”.
Prof Syed Muhammad Naquib Al-attas memaparkan, dalam pengantarnya untuk buku Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, dasar dan kaedah yang melandasi pemikiran Barat dalam setiap lapangan adalah; kebergantungan semata kepada akal manusia untuk memandu kehidupan di dunia, dualisme dalam memahami pelbagai reality dan kebenaran, penekanan kepada unsur-unsur perubahan dalam kewujudan yang menayangkan pandangan alam yang sekuler, doktrin humansime dan yang paling mendasar adalah mengangkat drama dan tragedy sebagai elemen-elemen dominant dalam sifat dan kehidupan manusia.
Asal mula paham liberalisme dan sekulerisme adalah dikupas oleh Muhammad Abduh yang pertama kali mengupas masalah nasionalisme dan kebangsaan, mencermati sejarah Islam dahulu, dan dari situlah bermula dakwah mengajak kepada liberalisme dan mencari gaya hidup alternative.
Kekacauan dunia yang disebabkan oleh paradigma sekulerisme dan selanjutnya liberalisme Islam sebenarnya sudah dirasakan oleh ummat Islam itu sendiri, dan hal tersebut bermula dari semenjak peradaban Barat menguasai dunia. Dua peradaban besar tersebut -Islam dan Barat- sejatinya ssudah memiliki doktrin pundamental dalam memandang hidup dan kehidupan, yang saling bertolak belakang. Peradaban barat yang merupakan ramuan dari ajaran Kristen, Filasafat Yunani, dan tradisi Romawi memang bertentangan secara mendasar dengan pandangan hidup Islam. Oleh karena itu seperti yang dikatakan oleh Naquib Al-Attas hal tersebut merupakan akar dari adanya konfrontasi yang tidak berujung dan konflik abadi dari dua peradaban besar tersebut. Dan lebih jauh lagi, kaum Barat selalu memandang Islam sebagai musuh besar dan tidak lain merupakan seteru abadi dalam menancapkan dogma-dogma mereka. Lantas kenapa hanya ummat Islam itu sendiri yang merasa gerah dengan sekulerisasi? Kenapa kristen tidak lagi ambil pusing alias adem ayem saja dengan permasalahan yang satu ini?
Pertanyan diatas, tentunya telah dijawab dengan tuntas oleh Naquib Al-Attas, yang diringkas oleh Prof Dr. Wan Muhammad Nor Wan Daud, diantaranya adalah;1). Kebangkitan Islam di pentas sejarah telah menentang dakwaan agama kristiani sebagai agama universal untuk seluruh ummat manusia, 2). Sejak dari awalnya lagi, Al-Quran telah menggugat dasar-dasar akidah agama Kristen bahwa Allah swt bisa beranak dan bisa diperanakan, serta hakekat Nabi Isa serta ibunya Maryam, 3). Al-Quran juga telah menceritakan ahwal para ketua-ketua agama Yahudi dalam menyelewengkan ajaran-ajaran para Anbiya dari Bani Israel, 4) Islam telah mengubah tubuh dan jiwa orang-orang Barat secara revolusioner dalam bidang-bidang Linguistik, Sosial, Kebudayan, Keilmuan dan Ekonomi, 5) perluasan pengaruh Islam serta tanah taklukannya ke seluruh Timur-Tengah termasuk kawasan yang dulunya dimiliki oleh kerajaan Bizantium, India, dan Afrika dalam waktu yang begitu singkat dan 6) Islam mempunyai potensi untuk bangkit semula berdasarkan konsep tajdidnya dan mampu menantang hegemoni kebudayaan Barat di masa yang akan datang.
Menjawab pertanyaan tersebut, Naquib Al-Attas lebih jauh mengatakan bahwa agama Kristen yang merupakan agama mayoritas daripada peradaban Barat tersebut telah lama tersekulerkan, atau terbaratkan. E. L Mascall, dalam bukunya, the secularization of christianity, mengatakan: “…that instead of converting the world to christianity they are converting christianity to the world”
Kegagalan agama Kristen dalam menancapkan eksistensinya di bumi ini tidak lain dikarenakan oleh adanya pemisahan antara aspek-aspek transendent dengan aspek-aspek immanentnya, dari kehidupan jasmaniah manusia dalam hal kebutuhan fisiknya, serta hasrat-hasrat ekonomi dan politiknya.
Abul Hasan Ali Nadawi mengatakan, bahwa Eropa mengenalkan kepada orang-orang Timur konsep-konsep dan ideologi-ideologi yang berdasarkan pada penyangkalan pokok-pokok kepercayaan rohaniah dan penolakan terhadap kekuatan yang Maha Kuasa yang memegang kekuasaan atas seluruh alam, penolakan terhadap kesadaran unggul yang menciptakan dunia dan yang dalam kekuasaannya terletak takdir-Nya (sesungguhnya Dialah yang mencipta dan Dia sendirilah yang mengatur); konsep-konsep yang berasal dari penolakan tehadap yang ghaib dan yamg supranatural, wahyu ilahi, kerasulan dan nilai-nilai transendent. Inilah segi umum dari semua cabang pemikiran yang dibawa oleh Barat, tak peduli apakah berkaitan dengan biologi dan evolusi atau dengan etika, psikologi, politik atau ekonomi. Bagaimanapun beragam lapangan studi yang mereka tekuni, kesemuanya memiliki latar belakang pendekatan materialistik terhadap manusia dan dunianya serta penafsiran gejala itu sepanjang garis materialistis.
Jadi, keruntuhan moral dan sosial peradaban Barat disebabkan oleh dualisme yang tragis kedalam mana agama Kristen telah dipaksakan. Dari awal sekali, umat Kristen telah diajari bahwa etika dam moralitas tidak perlu mencampuri kehidupan nyata. Semua bencana yang sekarang mengguncang dunia adalah akibat dari dualisme itu tidak menarik garis tajam antara kemungkinan moral dan kepantasana yang baik sekali membebaskan untuk apa saja yang tidak bermoral, termasuk membolehkan darah orang lain yang tidak berdosa demi kesejahteraan bangsanya sendiri.
Kegagalan agama kristen tidak berhenti disitu saja, tetapi ia sudah gagal secara total, dikarenakan adanya inkuisisi yang berkembang pada saat itu. Kejahatan tersebut telah menghancurkan agama kristen itu sendiri sehingga tidak ubahnya seperti macan ompong di tengah hutan rimba. Seperti yang dikemukakan oleh Karen Amstrong bahwa institusi paling jahat dalam sejarah Kristen adalah inkuisisi dan akhirnya mereka jera dengan pengalaman tersebut.

III. Liberalisme dan Sekularisme di dunia Islam
Pada awalnya, liberalisme berkembang di kalangan Protestan saja. Namun dalam perkembangannya ia kemudian menyebar di kalangan Katolik juga. Para tokoh liberal seperti Benjamin Constan menginginkan agar pola hubungan antara institusi gereja, pemerintah dan masyarakat ditinjau kembali dan diatur lagi. Mereka juga dituntut untuk mereformasi terhadap doktrin dan disiplin yang dibuat oleh pihak gereja katolik Roma agar sesuai dengan semangat zaman yang terus berubah, agar sesuai dengan prinsip-prinsip liberal.
Keberadaan pemikiran liberalisme di kalangan barat ternyata membawa dampak dengan perkembangan peradaban itu sendiri, tetapi tidak dengan Islam. Lantas bagaimana ia bisa masuk ke seluruh aspek kehidupan Islam?
Nirwan Syarif dari International Institute of Islamic Thought and Civilization-International Islamic University Malaysia, mengemukakan bahwa isu seputar sekulerisasi dan liberalisasi telah lama diperbincangkan oleh para cendikiawan muslim, khususnya di dunia Arab, ia merupakan respon politik dan intelektual atas ketidakberdayaan ummat Muslim saat berhadapan dengan kekuatan Barat. Invasi Napoleon ke Mesir pada tahun 1798 telah menyebabkan ummat Muslim bertanya. Kenapa kita bisa kalah di hadapan Barat? Sehingga berkecamuklah pertanyaan di dada para pemimpin Islam saat itu. Bisakan kita seperti Barat dengan segala kesuksesannya? Sejak itulah banyak pemimpin Islam yang mengadopsi medernisasi Barat, terutama di bidang militer dan pendidikan.
Gerakan sekulerisme dan liberalisme di dunia Islam sejatinya dibawa oleh mereka-mereka, kaum modernis, yang merasa mampu merubah segala problematika yang dihadapi oleh ummat Islam, sehingga mereka membawa arus pemikiran mereka untuk diaplikasikan di dunia Islam itu sendiri. Diantaranya adalah; Rif’ah Ath-Thowi, Qosim Amien, Ali Abdul Roziq dan Ahmad Khalafallah dari Mesir, Muhamad Taleqani dari Iran, Sayyid Ahmad Khan dari India, dan Muhammad Iqbal Dari Fakistan.
Pada abad-abad terdahulu telah kita cermati sejauh mana kaum modernisme dahulu dan sekarang tertipu oleh berbagai peradaban modern yang sudah dirasuki oleh budaya paganisme atau kemusyrikan, bahkan mereka takjub terhadap peradaban tersebut, amat memuliakannya, sehingga sudi mengikutinya dan tunduk kepadanya. Kalangan modernis berkeinginan menghancurkan sisi-sisi yang membedakan antara agama dengan propaganda penyatuan agama atau persahabatan antar agama, untuk mencapai tujuan agama intenasional, dimana seluruh ummat manusia menjadi bersaudara. Itu merupakan legalisasi untuk memeluk agama selain Islam.
Tak seorangpun yang menyangka bahwa kaum Muslimin mau mengalah untuk tidak memberlakukan syariat mereka setelah syariat itu mereka tegakkan lebih dari tiga belas abad. Kita sendiri juga tidak menyangka bahwa sebagian dari mereka yang berbicara dengan bahasa kita secara tega meruntuhkan syariat Allah serta menggantinya dengan undang-undang positif manusia bumi, atas nama reformasi dan reaktualisasi ajaran agama.
Tetapi itulah yang terjadi dengan ummat Islam saat ini. Hanya dengan embel-embel modernisasi mereka pun rela menggantikan ideologi yang mengantarkan mereka ke puncak peradaban jauh meninggalakan barat itu sendiri yang masih mencari jalan untuk keluar dari cengkraman kediktatoran gereja. Lantas apa hakekat modernisem itu sendiri?
Modernisme agama adalah upaya untuk menempatkan kembali nilai-nilai tradisional dalam pandangan pemikiran kontemporer. Ia berkeyakinan bahwa agar agama bisa relevan dengan kondisi-kondisi dan kebutuhan-kebutuhan modern, ia harus dipaksa menyesuaikan diri secara harmonis dengan norma-norma kontemporer. Orang-orang modernisme menilai agama dengan kriteria materialistik dan segala sesuatu dalam agama yang bertentangan dengan kriteria materialistik itu harus dijelaskan kembali, ditafsirkan kembali secara semau-maunya atau dibuang sebagai sesuatu yang tidak perlu. Motto kaum modernisme adalah "agama harus tetap sejalan dengan zaman”.
Dari itu semua kita mengetahui bahwa pada hakekatnya apa yang diperjuangkan oleh Islam liberal tidak jauh berbeda dengan modernisme. Di antaranya adalah demokrasi, pembelaan hak-hak perempuan, kebebasan bersuara, dan masa depan kemajuan umat manusia. Tema-tema yang diangkat memeneriakkan impresi bahwa siapapun yang rasional tidak mungkin menolak perjuangan mereka. Benarkah demikian adanya?
Kholif Muammar Harris, kandidat PhD di ISTAC-IIUM, Kualalumpur, Malaysia mengatakan hal tersebut hanyalah bualan belaka, dan tidak lebih dari keinginan mereka untuk menutupi tema-tema yang selalu menjadi perdebatan hangat di kalangan ummat Islam, keinginan mereka pada hakekatnya adalah; penolakan syari’at, pluralisme agama, kebebasan berijtihad, penolakan terhadap otoritas agama dan hermeneutika.
Tentunya dengan berbagai fakta yang ada tidak mengherankan jika timbul gejala yang demikian yang sangat meresahkan masyarakat luas. Yang tidak hanya nyeleneh tetapi juga sesat dan menyesatkan.
Kekacauan-kekacauan seperti itu, baik disengaja atau malah sudah diprogramkan semenjak mereka belajar di Barat, sebenarnya telah mencampuradukkan hal-hal yang bertentangan satu dengan yang lainnya, dijadikan dalam satu wadah dengan satu sebutan: modernis atau pembaharu. Baik itu dibikin oleh ilmuan Barat yang membuat kategorisasi ngawur-ngawuran itu berdisiplin ilmu sosiologi seperti Kurzman, maupun orang Indonesia alumni Barat yang lebih menekankan filsafat dari pada syari’at Islam seperti Dr Harun Nasution dan aktivis lainnya yang telah merancukan esensi dari kata pembahari itu sendiri yang mana hal tersebut sudah direkomendasikan oleh Rasullah saw. Penyelewengan kata (pembaharu) itulah yang akhirnya melegalkan sipilis di dunia Islam pada umumnya.
Dan perlu kita ketahui bahwa filsafat humansitik evolusioner dimulai dengan premis yang menyatakan bahwa agama adalah bikinan manusia dan sejalan masa prasejarah hingga sekarang senantiasa berkembang sesuai kebutuhan-kebutuhan manusia. Karena pengetahuan manusia dan cakrawala mental semakin besar dengan pengalaman, konsep-konsep lama harus dibuang sebagai sesautu yang tidak sesuai dengan zaman.

IV. Liberalisme dan Sekularisme di Indonesia
Gerakam leberalisme di Indonesia khususnya dan negara-negara Islam pada umumnya, pada awalnya dibungkusnya dengan label meodernisme, hal tersebut seperti yang diusung oleh kaum intelektual muda yang saat itu sedang giat-giatnya belajar di mesir seperti universitas Al-azhar yang kebanyakan mereka selalu mengusung ide-ide modernisme yang ditawarkan oleh Muahammad Abduh yang kontroversial. Dan mereka mencoba menawarkan ide-ide mereka sekembalinya mereka ke tanah air, walaupun ide-ide mereka banyak ditentang oleh kaum tua (konservatif) yang berusaha mereduksi ide-ide tersebut dan saling menancapkan gagasan-gagasan dan pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat.
Begitu juga dengan mereka-mereka yang berlajar di negara barat, sekembalinya mereka dari barat tersebut merekapun mulai menancapkan ide-ide mereka kepada kalangan intelektual muda, ia bergandengan dengan Abdurrahman Wahid dalam melancarakan aksinya, dan dibantu secara diam-diam oleh Djohan Effendi, dan akhirnya mereka membentuk generasi baru intelektual islam. Melalui input-input berharga, mereka mengenalkan cara berpikir baru kepada banyak inelektual muda muslim terbaik di Indoesia.
Lantas bagaimanakah paham liberal itu bisa masuk ke Indonesia? Menjawab pertanyaan tersebut Adian Husaini menyebutkan beberapa tokoh-tokoh agama dan juga para aktivis di Indonesia seperti; Ulil Abshar Abdallah, coordinator jaringan islam liberal, Prof Dawam Raharjo, Prof Dr K.H Said Aqil Siradj, Dr Alwi Shihab, Dr Abdul Munir Mulkhan, dan juga masih ada lagi aktivis-aktivis organisasi Islam dan penulis-penulis yang aktif menyebarkan paham liberal islam di Indonesia.
Adapun buku yang sangat berpengaruh terhadap penyebaran liberalisme di Indonesia adalah karya kontroversial dari seorang Lonard Binder, yang mengungkapkan sepuluh butir relevansi liberalisme di Indonesia. Dalam salah satu butirnya ia mengatakan bahwa penolakan liberalisme di Timur Tengah atau dimanapun termasuk di Indonesia itu sendiri bukanlah persoalan perbedaan moral atau politik. Dan ia mengatakan lebih lanjut bahwa gerakan-gerakan modernisme di Indonesia penuh dengan semangat ketimur-tengahan. Padahal menurut George Stauth itu sendiri, observasi yang dilakukan oleh Binder secara pundamental sangat cacat dan sama sekali nol dan tidak ada.
Leberalisme yang menjadikan sekulerisme sabagai program pentingnya dalam gerakan-gerakan yang dilakukan tokohnya khususnya di indonesia seperti Ulil Absor Abdallah, Nurkholis Majid, Dawam Raharjo dan aktivis-aktivis lainnya . Dan hal ini sudah merupakan bentuk dari perjuangannya dalam upaya membentuk negara sekuler.

V. Esensi Liberalisme Sekulerisme
Dari berbagai macam bentuk pemikiran dan paham yang muncul dewasa ini jelas sekali kalau paham liberalisme dan sekulerisme merupakan musuh utama yang harus kita waspadai. Lantas sekarang apa orientasi di balik itu semua jika kita relasikan dengan dunia Islam saat ini? Dan apa saja watak dari Islam liberal itu sendiri?
Ada diantara mereka yang secara terus terang mengungkapkan dalam buku-buku mereka bahwa mereka berniat menghancurkan Islam, karena terpengaruh oleh pemikiran nasionalisme sekuler dan sayap kiri komunis. Dan diantara mereka juga ada yang berusaha memunculkan sikap keragu-raguan di kalangan fanatis Islam dengan berbagai terminology bid’ah yang sulit dicerna pengertiannya, atau dengan cara membolak-balikkan realitas ajaran Islam sejati dengan pemikiran dan gerakannya. Mereka yang menempatkan orang-orang yang menyimpang dan tersesat sebagai para pemikir yang bijaksana dan revolusioneris. Sementara para ulama islam dotempatkan sebagai kalangan yang kolot konservatif, mayoritas modernisme termasuk yang kedua ini.dan ada juga yang berupaya mencarikan solusi dari problematika yang dihadapi orang Islam itu sendiri demi kepentingan politik yang menjadi tujuannya, dan ada juga yang berawal dari niat baik, upaya untuk berijtihad, hanya saja ia terperangkap dalam berbagai konseptual westernisasi yang terjejali ke dalam otaknya saat melakukan studi di nergeri-negri Barat. Atau setidaknya masih terpengaruh oleh pemikiran mu'tazilah. Atau bisa jadi seluruh pemikiran tersebut secara akulmulatif tersusun didalam otaknya. sehingga menyebabkan terjadinya goncangan, kerancuan dan kontradiksi dalam pemikirannya.
Paham liberalisme dan sekulerisme yang dibungkus dalam kemasan modernisme yang notabene adalah pemekaran dari westernisasi itu sendiri syarat dengan berbagai kepentingan. Dan sudah merupakan rahasia umum jika kedua paham tersebut didasari stigmatisasi dan fobia terhadap islam itu sendiri di mata mereka.
Lebih lanjut Lathifah Ibrahim Khadhar mengungkapkan hakekat di balik keinginan Barat dalam mengkampanyekan modernisme dan demokrasi tersebut adalah hanya alasan ketakutan mereka terhadap negara-negara Islam diwarnai demokrasi, agar tidak muncul republik-republik Islam yang kuat. Barat memang fobia terhadap Islam, dan sudah barang tentu mereka tidak mau kaum muslim memiliki kekuatan.
Kebencian terhadap Islam itu sendiri pada hakekatnya telah lama muncul semenjak permulaan lahirnya dakwah itu sendiri, bahkan jauh sebelum lahirnya dakwah, karena Islam telah disebutkan dalam kitab-kitab agama sebelum Al-Quran. Permusuhan dan ketakutan terhadap Islam itu terus bertambah setelah penaklukan Andalusia. Ketakutan itu kemudian berusaha menjadi bentuk usaha konspirasi atas Islam, terlebih setelah kekuasaan Daulah Utsmaniah menembus jantung Eropa.
Cromer, seorang presiden Mesir dibawah kekuasaan inggris menyatakan: "aku datang ke mesir untuk menghapus tiga hal: Al-Quran, Ka'bah dan Al-azhar". Adapun Wilfred Blint seorang spion inggris juga memiliki hubungan lama dengan Muhammad abduh, hubungan itu berkaitan dengan hubungan gurunya Jamaluddin Al-afghoni dengan Wilfred. Demikian hubunganya dengan revolusi arab. Sepulang dari pembuangan ia tinggal berdekatan dengan Muhammad abduh, Blint menggambarkan dakwah ishlahiah bahwa fokusnya adalah reformasi liberalisme terhadap ajaran agama. Lembaga pemikiran ini ia komentari sebagai lembaga pemikiran yang betul-betul kompleks dan kosmopolitan".
Sedangkan Hamim Tohari memaparkan beberapa watak dari liberalisme yang diusung oleh mereka yang menganggap diri mereka sebagai kalangan pembaharu, diantaranya adalah bahwa kalangan liberal secara langsung ingin mengkritik Al-Quran dan kandungannya yang menurut pemahaman mereka tidak lagi sesuai dengan logika keadilan gender, HAM, dan agenda kemanusiaan yang mereka usung. Mereka mengajak kaum muslimin untuk melakukan reintrepretasi (penafsiran ulang ), membongkar habis, atau meninggalkannya sama sekali.

Mengintip Liberalisme di Indonesia
Gerakan sekularisasi dan liberalisasi Islam di wilayah peradaban melayu khususnya Indonesia, telah berjalan dengan sangat serius dan mengkhawatirkan, karena gerakan tersebut telah mendapat sokongan dari tokoh dan para cendekiawan muslim. Negara-negara Barat juga sangat setuju dengan gerakan sekular-liberal tersebut, dengan memberikan sokongan dana melalui yayasan-yayasan seperti Ford Foundation, Asia Foundation, Sorosh Foudation, dan sebagainya. Ummat Islam yang tidak setuju dengan gerakan Islam liberal dimasukkan ke dalam golongan Islam Radikal, yang diberi image seakan-akan golongan ini adalah kelompok Fundamentalis, militan, yang dekat dengan teroris.
Sedangkan menerut Luthfi Assyaukani, kemunculan liberalisme di Indonesia sudah mulai populer semenjak tahun 50-an, tapi baru mulai berkembang pada tahun 1980-an oleh tokoh dan sumber rujukan komunitas liberal, Nurkholis Madjid alias Cak Nur, meskipun Cak Nur tidak pernah menggunakan istilah Islam Liberal untuk mengembangkan gagasan pemikiran Islamnya. Tapi ia tidak menentang ide-ide Islam liberal. Dan gagasan tersebut dikembangkan lewat sebuah organisasi yang diberi nama Jaringan Islam Liberal atau JIL dari Paramadina.
Aktivitas dari para pentolan atau aktivis jaringan islam liberal atau yang lebih dikenal dengan JIL di Indonesia sangat mudah untuk dicermati dan diamati. Begitu juga dengan visi dan misi mereka yang nampak dari mereka sendiri baik secara implisit maupun secara eksplisit. Wartawan majalah Hidayatullah suatu hari pernah mewawancarai Hamid Basyaib, Koordinator sementara jaringan Islam liberal yang menggantikan koordinator utamanya Kholil Abshor Abdallah, di kantornya, dengan santainya dan tanpa risih dengan wartawan di depannya ia mencolek dagu sekretarisnya, seorang cewek yang berpakaian rok mini. Hal tersebut jelas sudah menunjukkan sikap yang mencerminkan sebagai seorang yang tidak memiliki moral yang baik, otoritas keilmuan yang memadai, apalagi untuk mengklaim dirinya sebagai orang yang lebih tahu masalah agama, seperti yamg mereka dengung-dengungkan akhir-akhir ini. Semua dari kita sudah sangat paham sekali dalam tradisi islam, ulama yang diakui secara luas adalah mereka yang memiliki moral yang tinggi. Dan disinilah letak dari tradisi Islam dan Barat. Adian Husaini mengatakan dalam sebuah seminar di jakarta yang membahas tentang sekulerisme dan liberalisme, bahwasanya ada perbedaan antara tradisi Barat dan tradisi Islam. Islam memadukan antara konsep ilmu dengan akhlak. Ilmuan dalam Islam harus orang-orang yang memiliki akhlak yang baik. Begitu mereka berakhlak buruk maka tidak diterima sebagai ulama. Jika mereka merawikan Hadist maka barang tentu dianggap sebagai pembohong. Dan inilah yang tidak dimiliki oleh ilmuan barat, sehingga sulit bagi kita untuk menjadikan mereka sebagai contoh ideal apalagi mengikuti pola pikir mereka.
Dan lebih mencengangkan lagi bahwa Komunitas Utan Kayu (KUK) di kawasan Jakarta yang selama ini menjadi markas besar segala aktivitas JIL di negara ini ternyata tidak sedikitpun menunjukkan tempat yang representative sebagai pusat keilmuan. Sorang wartawan dari majalah Hidayatullah yang pernah mengunjungi tempat tersebutpun tercengang dengan suasana tempat tersebut yang terpampang di salah satu sudut ruangnya gambar wanita (maaf) telanjang, dengan Bir dan minuman beralkohol lainnya yang mudah didapat di lantai atasnya. Dan buku-buku yang berjejer di rak-raknya pun dipenuhi oleh buku yang banyak menjual buku-buku pemikiran seperti masalah sosialisme dan kesetaraan jender. Astaghfirullah…

VII. Bahaya Liberalisme
Jika kita tinjau kembali lebih saksama, maka kita akan menemukan realita dari bahaya yang dikumandangkan oleh para kaum modernis yang membungkus pemikiran mereka dengan standar ganda dan sarat akan kepentingan, begitukah?
Hamid Fahmi Zarkasyi, Direktur INSIST dan pemimpin redaksi Jurnal Islamia, dalam sebuah artikelnya mengatakan dengan tegas bahaya dari liberalisme itu sendiri yang sarat dengan kepentingan, sebab liberal adalah posmodernis, dan posmodernis adalah pendukung pluralisme, anti fundamentalisme, banyak protes terhadap tradisi, dan cara berpikirnya eklektis (pilih-pilih). Karena pemikiran tersebut untuk kepentingan, jadi tidak salah jika di dalamnya terdapat kepentingan politik.
Untung Wahono dalam sebuah kajian, memaparkan beberapa bahaya yang dapat ditimbulkan oleh paham liberalisme terhadap ummat muslim khususnya di Indonesia yang memang jauh dari pembinaan, di antaranya adalah; Pertama, dapat terjadi pergeseran dalam esensi kehidupan keberagaman kaum muslim dari keberagamaan yang bersifat samawi menjadi bersifat duniawi yang semata-mata mengagungkan akal (rasional). Kedua; dapat terjadi pembalikan peran-peran dalam keidupan keagamaan terutama menyangkut peran kitab suci Al-Quran. Yang semula Al-Qur’an mengangkat derajat manusia menjadi sekedar legitimasi terhadap perubahan masyarakat yang hanya dilandasi nafsu serakah dan kepentingan-kepentingan kelompok. Ketiga; dapat terjadi pendomplengan ideologi di luar Islam terhadap gerakan pemikiran Islam untuk mewujudkan tujuan-tujuan jahat mereka.
Sedangkan Hamid Fahmi Zarkasyi, mengemukakan bahaya di balik tersebut adalah munculnya kebebasan seluas-luasnya dengan mengesampingkan agama, lembaga-lembaga yang memiliki wewenang dalam mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan dan tidak ada lagi absolutisme tuhan, dan sudah barang tentu akhirnya akan menjurus ke dalam paham sekulerisme; agama tidak boleh masuk ke dalam ruang-ruang yang bersifat imannent.
Sedangkan Hartono Ahmad Jaiz lebih senang menguraikan bahaya Liberalisme dengan apa yang ditunjukkan oleh para aktor liberalsme dan sekularisme yang menyamakan semua agama yang ujung-ujungnya meniadakan agama itu sendiri dan menyamakan tokoh-tokohnya dengan Gatoloco dan Darmogandul, dua orang yang pertama kali menolak syari’at islam di tanah Jawa dengan qias/analog yang dibuat-buat, yang mana mereka mengatakan bahwa babi yang dibeli itu lebih baik dari pada kambing curian. Sedangkan kaum liberal sekarang menolak syari’ah karena menganggap fiqih sudah kehilangan relevansinya dengan analog/qias yang dibuat-buat.
Sedangkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan bahwa apa yang dibawa dan didengung-dengungkan oleh para aktivis sipilis tidak jauh berbeda dari apa yang dibawa oleh kaum jahiliah dahulu, yang mana mereka berbicara tentang agama tetapi pada hakekatnya apa yang mereka bicarakan tidak ada dalam ilmu mereka.
Jauh hari sebelumnya, Prof Dr Hamka telah menguraikan bahaya dari sekularisme dan liberalisme, bahwa itu semua adalah bagian dari penjajahan ideologi dan tentunya hal tersebut tidak lain adalah anak kandung dari kristenisme dan zionisme yang telah lama bersatu ingin menghancurkan Islam yang sedang bangkit. Salah satu dari ideologi itu adalah kalau sekiranya kaum muslim tidak juga menukar agamanya, hendakklah diusahakan agar mereka jauh dari ajaran Islam. Yang teutama hendaklah rusakkan mentalnya dan rusakkan akhlaknya.

VIII. Bagaimana sikap kita?
Ibarat sebuah virus yang ganas yang hampir merenggut nyawa seseorang, maka virus tersebut pun menjadi sesuatu yang menakutkan untuk kedepan, dan menjadi sebuah pelajaran yang sangat berharaga yang dapat diambil untuk tidak terjerumus kedua kalinya di lubang yang sama. Begitu juga dengan liberalisme dan sekulerisme yang menjadi momok menakutkan bagi ummat islam itu sendiri. Ummat yang sudah kecolongan baik akidah, maupun pola hidupnya sudah saatnya mengambil pelajaran dari itu semua untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Walaupun musuh itu sendiri memang selalu hadir dalam setiap waktu dan sepanjang zaman. Dan hendaklah menjadikan musuh tersebut sebagai tolak ukur sejauhmana keberdayaan dan kemampuan kita menghadapinya. Dan tentunya mengambil segi positif dari itu semua. Prof Dr Wan Mohd Nor Wan Daud dalam sebuah wawancara dengan harian Republika mengemukakan bahwa ada aspek-aspek dimana ummat Islam bisa menerima sekularisasi dan leberalisasi. Yaitu keinginan untuk membebaskan diri dari kejahiliyahan dan kemiskinan dan tidak menerima hal yang tahayul. Namun aspek sekelurisasi dan liberalisasi yang ingin menghapuskan wahyu, ruh, ataupun kepercayaan kepada alam akhirat tak perlu kita terima.
Jadi memang tak harus ditolak mentah-mentah semuanya. Namun ada sejumlah aspek yang dapat kita serap. Kemudian langkah selanjutnya adalah melakukan islamisasi. Sebagai contoh, pada saat berkembangnya filsafat Yunani ummat Islam mampu menerima, namun kemudian mengislamisasikan dan mengembangkannya sehingga menjadi sebuah aliran filsafat tersendiri.
Sedangkan Adian Husaini mengungkapkan bahwa ummat Islam dalam memandang sekulerisme dan liberalisme dituntut untuk bersikap lebih kristis, dan jangan silau dengan keberhasian Barat dalam segala bidang ilmu pengetahuan sehingga mengambilnya dengan membabi-buta. Dan hendaknya mengambil pelajaran dari Turki yang sampai sekarang kemajuannya masih stagnan dikarenakan kaum intelektual muda mereka yang terlalu bersemangat dalam mengadopsi peradaban Barat. Padahal pada hakekatnya Barat sampai sekarang masih gagal dalam mewujudkan manusia yang berperadaban.
Sedangkan Hamim Thohari memberikan beberapa trik dalam menghadapi kesesatan dan penyesatan kelompok yang berwatak mirip dengan orang kafir itu, dia antaranya adalah; pertama, jangan kalap. Kita tidak boleh tersinggung dengan penghinaan yang mereka lakukan terhadapp agama kita, walaupun mereka sendiri mengaku bagian dari Islam. Karna kita sadar bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah skenario barat yang ingin mengadu domba dan memecah-belah ummat muslim sendiri. Kedua, selalu waspada dengan apa yang mereka lakukan dan tersus mengikuti perkembangan mereka, sejauh mana mereka menyusupi celah-celah kehidupan kaum Muslimin dan seberapa besar kerusakan yang mereka timbulkan dan tidak kalah pentingnya menggunakan iklim demokrasi dan kebebasan pers untuk menetralkan racun-racun yang mereka tularkan melalui langkah-langkah konstitusional (seperti fatwa MUI), maupun dengan menggencarkan pemikiran yang lurus lewat media massa yang tentunya tidak berpaham sekular-liberal. Ketiga; untuk membentengi diri dan keluarga kita serta ummat pada umumnya hendaknya kita melakukan kajian ilmiah yang intensif dan kaffah terhadap ajaran Islam, baik yang mereka jadikan objek serangan maupun keseluruhan ajaran Islam itu sendiri.
Maka tidak ada sikap yang lebih pantas untuk kita kedepankan saat berhadapan dengan mereka selain mengambil sikap tegas, Menolak “Sipilis” (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme) yang selalu menjadikan dunia sebagai Top Grade dari apa yang mereka cari dan perjuangkan.
Tetapi perlu dietahui disini bahwa Islam tidaklah berpandangan sempit atau terbelakang. Malahan ia siap bekerjasama denga segala hal yang baik, ia terus maju dalam segala perwujudannya yang asli dan sehat. Mengenai hal yang disebut terdahulu, hukum Al-Quran adalah sebagai berikut; "bekrjasamalah dalam kebajikan dan kesalehan (dengan semua ummat manusia)".dan mengenai yang disebut kemudian Rasulullah saw telah berkata: "semua hikmah (ilmu) adalah milik yang hilang dari orang yang beriman. Ia harus memungutnya di mana pun menemukannya".
Satu-satunya hikmah (ilmu) yang dapat diberikan Barat kepada kita adalah prestasinya di bidang teknologi. Islam tidak meletakkan rintangan di jalanan untuk memperoleh hikmah ini bagi muslim. Akan tetapi Budaya Nafsu Barat adalah racun berbisa yang amat keras dalam segala aspeknya. Pengambil-alihannya berarti tidak akan kurang dari pada penghancuran islam. Lebih jauh lagi, Islam bertujuan pada suatu Budaya yang mengandung diri sendiri dan peradaban yang menopang diri sendiri, dan dengan demikian tak mungkin membolehkan seorang pun menggantikan dasarnya atau meukarkan prinsip budayanya denga cita norma yang asing.
Dan merupakan sesuatu yang lumrah jika peradaban yang stagnan akan berupaya untuk melihat dan melirik kemajuan yang sudah mapan dan kemudian mengambil sedikit darinya ataupun sebagian darinya untuk keperluan peradabannya. Sejauh apa yang diambil masih dalam tahap kewajaran, karena semua peradaban harus memilik ciri dan karakteristik sendiri. Begitu juga dengan peradaban Islam yang masih jalan di tempat harus lebih banyak lagi bergesekan dengan peradaban yang lebih maju, tetapi sekali lagi tetap pada karakteristik, bahwa kekuasan Tuhan-lah yang absolut dan syariat-Nya lah yang kita jadikan landasan dan pijakan utama. Dengan menjunjung tinggi anugerah-Nya yang tidak ternilai (Akal) dan menempatkannya sebagai lampu penerang yang mampu menerangi jalan yang masih gelap ataupun gelap sama sekali.

F. Kesimpulan
Sipilis adalah rangkain gagasan dan pemikiran yang bertindak sebagi aktor penghancur kelangsungan dan eksistensi ummat manusia dibumi ini dengan berbagai kemasan yang membungkusnya (modernisme, pembaruan, hermeneutika dll) yang akhir-akhirnya adalah menjadikan akal sebagai sesuatu yang agung, dan kebenaran agama sebagai kebenaran yang relatif. Semua orang berhak menafsirkan hidup keberagamaannya, dan bebas dalam menjalankanya tanpa ada yang mengatur. Barat, peradaban dan kebudayaannya, yang bersifat populis haruslah kita waspadai, karena secara konseptual dampaknya sangat dahsyat. Ia tidak hanya mampu mengubah konsep sejarah secara agresif, tetapi juga mengubah sikap orang terhadap agama menjadi skeptis. Agama dan kitabnya hanyalah buah dari imajinasi manusia yang bersifat profan, kering dan dapat depermainkan dengan nafsu liar.
Sipilis tidak hanya berdampak pada kerancuan kelangsungan hidup tetapi juga berdampak pada kerancuan hakekat hidup itu sendiri, karena mengembalikan manusia pada alam dimana segalanya diatur oleh diri sendiri, Tuhan tidak punya peran apalagi agama. Na’udzubillah…sesungguhnya tidaklah kami ciptakan manusia kecuali untuk beribadah kepada-ku. Wallaahua’lam.

G. Penutup
Dari pembahasan di atas, tentunya kita memiliki gambaran yang jelas tentang nilai-nilai tersembunyi di balik liberalisme itu sendiri sehingga kita dituntut untuk lebih waspada dengan ancaman-ancaman yang lebih bahaya, karena ia laksana musuh dalam selimut yang sulit untuk dideteksi dengan jelas. Karena selalu menggunakan topeng dengan ummat agama sebagai kendaraannya. Semoga kajian yang sederhana ini bisa membuka cakrawala berpikir kritis kita di masa yang akan datang. Amien……

H. Saran
Pembahasan sekitar liberalisme, sekularisme dan isme-isme yang lainnya adalah pembahasan yang bersifat cotinuitas, atau selalu mengalir dan tanpa batas waktu. Karena hal tersebut selalu menimbulkan masalah yang selalu berbenturan dengan segala macam kepentingan yang selalu berubah dan muncul setiap saat. Maka dari itu penulis menghimbau kepada pengkaji selanjutnya untuk lebih giat lagi dalam mengkaji hal-hal seperti ini, dan menjadikan karya ini sebagi batu loncatan (steping Stone) untuk lebih mengena dan fokus dalam membentengi aqidah ummat yang semakin merosot ini.






I. Daftar Pustaka
1. Husaini, Adian, wajah Peradaban Barat, Gema Insani, Jakarta, 2005
2. An-Nashir, Muhammad Hamid, Menjawab Modernisasi Islam, Darul haq, Jakarta
3. Rabbani, Captain Wahid Bakhsh, Sufisme Islam, Sahara Publisher, Jakarta 2004
4. Nadawi, Abu Hasam Ali, Benturan Barat-Islam, Mizan, Bandung 1985
5. Jamilah, Maryam, Benturan Barat-Islam, Mizan, Bandung, 1985
6. Khadhar, Lathifah Ibrahim, Ketika Barat Memfitnah Islam, Gema Insani, Jakarta 2005
7. Zarkasyi, Hamid Fahmi MA, dkk, Tantangan Sekulerisasi dan Liberalisme di Dunia Islam, Khoirul Bayan, Jaksel, 2004
8. Wahab, Syaikh Muhamad Bin Abdul, Mewaspadai 100 Perilaku Jahiliya, Pustaka eLBA, Surabaya 2005
9. Hamka, Prof Dr, Ummat Islam Menghadapi Tantangan Kristen dan Sekularisasi, Panjimas, Jakarta 2003.
10. Jaiz, Hartono Ahmad, Bahaya Islam Liberal, Pustaka Al-kautsar, Jakarta 2002.
11. Barton, Greg Ph.D, Gagasan Islam Libeal Di Indonesia, Pustaka Antara, Jakarta 1999
12. Republika, Dialog Jum'at, Edisi 5 Maret 2005
13. Hidayatullah, Edisi 1/xix Mei 2006/Rabi'uts tsani 1427 H
14. Hidayatullah, Edisi 3/XIX Juli 2006
15. Hidayatullah, Edisi 4/XIX Agustus 2006
16. Hidayatullah, Edisi 05/XVIII September 2005.
17. Hidayatullah, Edisi 7/XVII Nopember 2004
18. Hidayatullah, Edisi 7/XVIII Nopember 2005
19. Hidayatullah, Edisi 08/XVIII Desember 2005
20. Hidayatullah, Edisi 11/XVIII Maret 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar