Selasa, 22 Juni 2010

Tenangkan dirimu

Manusia adalah makhluk dinamis, dimana setiap detik ada beribu bahkan jutaan pikiran terlintas dalam kepala seseorang, dan dalam beberapa menit, ada banyak berakan yang dihasilkan. ini manandakan bahwa manusia, dengan akal, hati dan fisiknya, membuat dirinya menjadi makhluk yang sempurna, (ahsanu taqwim. kemampuan manusia dalam menghasilkan pikiran dan gerakan yang banyak dalam hitungan detik membuat dirinya menjadi makhluk yang aktif. keaktifan seseorang seringkali berbenturan dan berlawanan dengan keaktifan orang lain, sehingga timbullah gesekan dan masalah. banyaknya masalah, benturan dan gesekan menandakan bahwa orang tersebut aktif, baik secara fisik maupun pikiran. bagi yang mendapatkan masalah, bersyukurlah bahwa anda termasuk orang yang aktif, dan orang yang aktif akan menghasilkan tindakan-tindakan yang banyak, jikalau seandainya tindakan-tindakan yang dia lakukan adalah bagian dari ibadaha, maka betapa bnyak pahala yang dia akan dapatkan. tetapi semua orang mampu menyelesaikan masalah yang ada pada dirinya, dan solusi terbaik dalam menyelesaikannya adalah berusaha tenang....

Selasa, 20 April 2010

Yakinlah bahwa ia tercipta untukmu….. Jangan pernah berharap akan mendapatkan istri seagung khadijah jikalau dirimu tidak sesempurna Rasulullah, untuk

Yakinlah bahwa ia tercipta untukmu…..
Jangan pernah berharap akan mendapatkan istri seagung khadijah jikalau dirimu tidak sesempurna Rasulullah, untuk apa mengharapkan istri seteguh ‘Aisah, setabah Fatimah, secantik Zulaikha jikalau dirimu tidak sekuat nabi Musa, tidak setampan nabi Yusuf, dan tidak sepandai ‘Ali. Dan janganlah kau dambakan suami sesempurna Rasulullah jikalau engkau tidak seagung Khadijah, dan jangan pula kau dambakan suami yang sempurna tanpa cela, jikalau dirimu masih menyimpan cela dan kekurangan…

Terimalah kenyataan bahwa istri yang kau nikahi tidaklah seindah yang kau impikan
Istrimu bukanlah seindah Khadijah, seteguh Aisyah, setabah Fatimah, dan secantik Zuleikha
Justru istrimu adalah istri akhir zaman yang akan melahirkan anak yang shaleh dari rahimnya..

Pernikahan akan menginsyafkan kita akan perlunya iman dan taqwa untuk belajar meniti sabar karena meniti sabar karena memiliki suami yang tak sehebat yang diinginkan,
Jusrtu kau akan tersentak bahwa suamimu bukanlah searif Abu Bakar, suamimu hanyalah suami akhir zaman yang membawamu menuju surga yang abadi…

Terimalah pasanganmu dengan segala kekurangan dan kelebihannya, jangan pernah kau banding-bandingkan dengan suami dan istri orang lain, kelebihanmu hanya akan dinilai oleh Allah manakala engkau mampu membuat pasanganmu menjadi istimewa di mata-Nya, begitupun sebaliknya, kekuranganmu terletak pada sejauhmana engkau mampu membuatnya lebih dekat-Nya…

Bahtera rumah tangga bagaikan kapal yang berlayar di tengah lautan nan luas, dimana ombak dan badai adalah kenyataan yang harus diterima dan dihadapi, hanya keteguhan, kekuatan dan ketabahan penghuninyalah yang mampu membuat bahteranya terus melaju,dimana syarat kejayaannya adalah manakala penghuninya bahu-membahu untuk tidak membiarkan setetes airpun masuk, dan tetap memastikan untuk tidak ada lubang sekecil apapun yang muncul….

Selamat mengarungi bahtera rumah tangga, semoga melahirkan generasi-generasi rabbani-qurani……

Sabtu, 13 Februari 2010

Karakteristik Pemimpin dalam Islam

Karakteristik Pemimpin dalam Islam
Abu Bakar pernah menjelaskan dasar-dasar kepimpinan dalam Islam apabila beliau dibai’at menjadi pengganti Rasulullah SAW. Beliu menjelaskan dasar kepemimpinan sebagai berikut;
Pertama; Dasar yang digunakan dalam menilai rakyat. Abu Bakar menegaskan kepada sekelian rakyatnya bahawa beliau menilai mereka berdasarkan ketaatan kepada Allah, bukan pangkat, keturunan, harta keturunan, ras, etnik dan sebagainya. Baginya, rakyat terbaik ialah yang paling tinggi takwanya. Jelas sekali beliau menghayati prinsip al-Quran yang menegaskan; “Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang paling tinggi taqwanya di antara kamu” (Surah al-Hujurat, ayat 13). Berdasarkan prinsip ini, para ulamak menegaskan; “jabatan apapun dalam pemerintahan Islam, baik itu berkaitan dengan kehakiman, kementerian, pegawai-pegawai biasa dan lain sebagainya tidak harus diserahkan kepada sembarang orang melainkan yang memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Mempunyai keimanan dan ketakwaan.
2. Mempunyai kelayakan ilmu berkaitan jawatan yang hendak diisi.
3. Ia tidak melobi untuk mendapatkannya, kerana Nabi s.a.w. bersabda; “Sesungguhnya kami demi Allah tidak akan menyerahkan kerja ini kepada seseorang yang memintanya atau bercita-cita ke atasnya”.
Kedua; Dasar keadilan dan kesaksamaan untuk rakyat. Saidina Abu Bakar meletakkan satu prinsip yang tegas berhubung keadilan dan kesaksamaan di antara rakyatnya. Beliau seolah-olah memberi peringatan; “jangan ada sesiapa pun di kalangan rakyatnya yang coba menindas orang lain kerana beliau pasti akan menggunakan kuasanya –sebagai pemimpin- untuk membela orang tertindas itu. Dirinya diletakkan sebagai pengimbang antara rakyatnya yang kaya dan yang miskin, antara yang menindas dan yang ditindas. Rakyat yang dizalimi akan dibela sehingga ia menjadi kuat di tengah masyarakat dengan pengaruh khalifah. Sementara yang menzalimi pula akan dikekang dan diancam sehingga pengaruhnya menjadi lemah kerana ditenggelamkan oleh kuasa khalifah.
Ketiga; Dasar pemimpin berperlembagaan, yang tertakluk dengan undang-undang Syar’i. Di dalam ucapannya tadi, Saidina Abu Bakar menegaskan; “Aku adalah pengikut (ajaran Nabi s.a.w.), bukan pembid’ah (yakni yang mereka-reka ajaran baru)”. Saidina Abu Bakar ingin memberitahu rakyatnya bahawa; walaupun berada di kedudukan paling atas dalam Negara, beliau tetap terikat dengan undang-undang Syari’at yang ditinggalkan Nabi Muhammad s.a.w.. Sebagai pemimpin Islam, beliau menyadari bahawa tanggungjawab beliau ialah meneruskan kesinambungan politik Islam yang dipelopori oleh Nabi Muhammad s.a.w., bukan membawa ajaran politik baru yang berlawanan dengan sunnah baginda. Karena itu, beliau meminta rakyatnya agar mengawasinya. Beliau berpesan kepada mereka; “Jika aku berbuat baik, bantulah aku dan jika aku tersesat, betulkanlah aku”.
Dari uraian singkat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa dasar-dasar kepemimpinan dalam Islam tidak keluar dari apa yang telah diwasiatkan oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau telah meletakkan pondasi yang kokoh dan telah pula diamalkan oleh para khalifah setelah beliau. Apabila pemimpin kita menghayati dengan baik titah perjuangan seorang pemimpin, maka bukan sesuatu yang mustahil Bangsa kita menjadi Bangsa yang disegani, dihormati dan disayangi. Dan kedamaian rakyatnya pun bisa dijamin melintasi sekat-sekat agama, ras, suku dan etnis. Semoga…

Lautan Hikmah

LAUTAN HIKMAH
Suatu ketika, saya bejalan-jalan di sekeliling kota Kuala Lumpur, Malaysia sehabis pulang bersilaturrahim dengan salah satu wali santri yang anaknya kebetulan belajar di Pondok Modern Gontor. Di saat saya sedang asyik ngobrol dengan teman di atas motor, tanpa sadar, dengan repleksnya, teman saya berkata kepada saya tatkala melihat seorang wanita yang sangat gemuk, “wah, ini orang gendut sekali ya Hael, gila tu orang, makan apa aja dia…” saya tau maksud ucapan dia, pastilah sedikit banyak ada unsur mencela si wanita gemuk tersebut. Saat itu juga saya langsung menimpali ucapannya “astaghfirullah, akhi, jaga hati, jaga lisan dan jaga pikiran. Jangan pernah terdetik sekali pun dalam hati untuk mencela siapapun dan bagaimanapun keadaan seseorang. Siapa yang bisa menjamin kita akan pulang dengan selamat ke rumah. Tidak menutup kemungkinan dan bukan sesuatu yang mustahil dalam perjalanan ini kita mengalami kecelakaan, dan orang yang pertama kali menolong kita, mengantar kita ke rumah sakit, mengabari orang-orang terdekat kita tentang keadaan kita adalah orang yang akhi cela barusan, sungguh itu tidak mustahil terjadi”…”astaghfirullah..” teman saya langsung beristighfar. “anta benar, sangat benar sekali, astaghfirullah”. Itulah kita,terkadang kita begitu sulit untuk menahan lisan untuk mencela, pikiran untuk berfikir negative, hati untuk merasa iri-dengki barang semenit sekalipun…

Selasa, 17 Februari 2009

Kerancuan Relativisme

Kerancuan Relativisme
“Semua adalah relatif” (All is relative) merupakan slogan generasi zaman postmodern di Barat, kata Michael Fackerell, seorang missionaris asal Amerika. Ia bagaikan firman tanpa tuhan, dan sabda tanpa Nabi. Menyerupai undang-undang, tapi tanpa penguasa. Tepatnya dokrtin ideologis, tapi tanpa partai. Slogan itu memang enak didengar dan menjanjikan kenikmatan syahwat manusiawi. Baik buruk, salah benar, porno tidak porno, sopan tidak sopan, bahkan dosa tidak dosa adalah nisbi belaka. Artinya tergantung siapa yang menilainya.
Slogan relativisme ini sebenarnya lahir dari kebencian. Kebencian Pemikir Barat modern Barat terhadap agama. Benci terhadap sesuatu yang mutlak dan mengikat. Generasi postmodernis pun mewarisi kebencian ini. Tapi semua orang tahu, kebencian tidak pernah bisa menghasilkan kearifan dan kebenaran. Bahkan persahabatan dan persaudaraan tidak selalu bisa kompromi dengan kebenaran. Aristotle rela memilih kebenaran dari pada persahabatan.
Tidak puas dengan sekedar membenci, postmodernisn lalu ingin menguasai agama-agama. “Untuk menjadi wasit tidak perlu menjadi pemain” itu mungkin logikanya. Untuk menguasai agama tidak perlu beragama. Itulah sebabnya mereka lalu membuat “teologi-teologi” baru yang mengikat. Kini teologi dihadapkan dengan psudo-teologi. Agama diadu dengan ideologi. Doktrin “teologi” pluralisme agama berada diatas agama-agama. “Global Theology” dan Transcendent Unity of Religions mulai dijual bebas. Agar nama Tuhan juga menjadi global di ciptakanlah nama “tuhan baru” yakni The One, Tuhan semua agama. Tapi bagaimana konsepnya, tidak jelas betul.
Bukan hanya itu “Semua adalah relatif” kemudian menjadi sebuah kerangka berfikir. “Berfikirlah yang benar, tapi jangan merasa benar”, sebab kebenaran itu relatif. “Jangan terlalu lantang bicara tentang kebenaran, dan jangan menegur kesalahan”, karena kebenaran itu relatif. “Benar bagi anda belum tentu benar bagi kami”, semua adalah relatif. Kalau anda mengimani sesuatu jangan terlalu yakin keimanan anda benar, iman orang lain mungkin juga benar. Intinya semua diarahkan agar tidak merasa pasti tentang kebenaran. Kata bijak Abraham Lincoln, “No one has the right to choose to do what is wrong”, tentu tidak sesuai dengan kerangka fikir ini. Hadith Nabi Idha ra’a minkum munkaran…dst bukan hanya menyalahi kerangka fikir ini, tapi justru menambah kriteria Islam sebagai agama jahat (evil religion) versi Charles Kimbal.
Jadi merasa benar menjadi seperti “makruh” dan merasa benar sendiri tentu “haram”. Para artis dan selebriti negeri ini pun ikut menikmati slogan ini. Dengan penuh emosi dan marah ada yang berteriak “Semuanya benar dan harus dihormati”. Yang membuka aurat dan yang menutup sama baiknya. Confusing! Sadar atau tidak mereka sedang men “dakwah”kan ayat-ayat syetan Nietzsche tokoh postmodernisme dan nihilisme. “Kalau anda mengklaim sesuatu itu benar orang lain juga berhak mengklaim itu salah”. Kalau anda merasa agama anda benar, orang lain berhak mengatakan agama anda salah.
Para cendekiawan Muslim pun punya profesi baru, yaitu membuka pintu surga Tuhan untuk pemeluk semua agama. “Surga Tuhan terlalu sempit kalau hanya untuk ummat Islam”, kata mereka. Seakan sudah mengukur diameter surga Allah dan malah mendahului iradat Allah. Mereka bicara seperti atas nama Tuhan.
Slogan “Semua adalah relatif” kemudian diarahkan menjadi kesimpulan “Disana tidak ada kebenaran mutlak” (There exists no Absolute Truth)”. Kebenaran, moralitas, nilai dan lain-lain adalah relatif belaka. Tapi karena asalnya adalah kebencian maka ia menjadi tidak logis. Kalau anda mengatakan “Tidak ada kebenaran mutlak” maka kata-kata anda itu sendiri sudah mutlak, padahal anda mengatakan semua relatif. Kalau anda mengatakan “semua adalah relatif” atau “Semua kebenaran adalah relatif” maka pernyataan anda itu juga relatif alias tidak absolut. Kalau “semua adalah relatif” maka yang mengatakan “disana ada kebenaran mutlak” sama benarnya dengan yang menyatakan “disana tidak ada kebenaran mutlak”. Tapi ini self-contradictory yang absurd.
Menghapus kepercayaan pada kebenaran mutlak ternyata bukan mudah. Di negeri liberal seperti Amerika Serikat sendiri 70% Krsiten missionaries dan 27% atheis dan agnostik percaya pada kebenaran mutlak. Bahkan 38% warga Negara dewasanya percaya pada kebenaran mutlak. (Seperti dilaporkan William Lobdell di the Los Angeles Times dari hasil penelitian Barna Research Group). Karena itu doktrin postmo pun berubah:“Anda boleh percaya yang absolut asal tidak mencoba memaksakan kepercayaan anda pada orang lain”. Artinya tidak ada siapapun yang boleh menyalahkan siapa dan melarang siapa. Tapi pernyataan ini sendiri telah melarang orang lain. Bagi kalangan Katholik di Barat ini adalah sikap pengecut, pemalas dan bahkan hipokrit. Bagi kita pernyataan ini menghapuskan amar ma’ruf nahi munkar.
Slogan “Semua adalah relatif” pun menemukan alasan baru “yang absolut hanyalah Tuhan”. Aromanya seperti Islami, tapi sejatinya malah menjebak. Mulanya seperti berkaitan dengan masalah ontologi. Selain Tuhan adalah relatif (mumkin al-wujud). Tapi ternyata dibawa kepada persoalan epistemologi. Al-Qur’an yang diwahyukan dalam bahasa manusia (Arab), Hadith yang disabdakan Nabi, ijtihad ulama dsb. adalah relatif belaka. Tidak absolut. Sebab semua dihasilkan dalam ruang dan waktu manusia yang menyejarah. Padahal Allah berfirman al-haqq min rabbika (dari Tuhanmu) bukan ‘inda rabbika (pada Tuhanmu). “Dari Tuhanmu” berarti berasal dari sana dan sudah berada disini di masa kini dalam ruang dan waktu kehidupan manusia. Yang manusiawi dan menyejarah sebenarnya bisa mutlak.
Thomas F Wall, penulis buku Thinking Critically About Philosophical Problem, menyatakan percaya pada Tuhan yang mutlak berarti percaya bahwa nilai-nilai moral manusia itu dari Tuhan. Demikian sebaliknya kalau kita tidak percaya Tuhan (hal 60). Jika ada yang percaya bahwa nilai moral manusia itu adalah kesepakatan manusia,…tentu ia tidak percaya pada yang mutlak. “Semua adalah relatif” bisa berarti semua tidak ada yang tahu Tuhan yang mutlak dan kebenaran firmanNya yang mutlak. Jika begitu benarlah pepatah para hukama ’al-Nas a‘da ma jahila, manusia itu benci terhadap apa yang tak diketahuinya.

Sabtu, 17 Januari 2009

Pluralisme Agama, Bentuk Baru Madzahib Haddamah

Pluralisme Agama, Bentuk Baru Madzahib Haddamah
By Helly Sardi*
Pendahuluan
Aqidah kaum muslimin bisa menggambarkan bahwa Islam adalah agama yang benar yang memang diturunkan untuk menyempurnakan beberapa agama samawi sebelumnya, sekaligus untuk memebenarkan beberapa penyelewangan yang terjadi pada agama-agama tersebut.
Hanya saja beberapa symbol pernyelewangan tersebut, berbagai terminologi asing yang muncul kemudian, mulai menelusup ke dalam masyarakat dunia, di antaranya adalah masyarakat Islam. Di antara symbol tersebut adalah globalisasi, singkretisme dan pluralisme. Itulah propaganda kaum Freemasonry dalam salah satu target gerakan mereka. Kedua bentuk propaganda itu memiliki substansi yang sama.
Para pemandu dakwah ini berkeyakinan bahwa globalisasi adalah jalan untuk menggabungkan ummat manusia dalan satu mazhab. Dengan cara itu, berbagai macam perbedaan agama dan isme-isme lainnya bisa terhilangkan, karena perdamaian telah menggantikan kedudukan perpecahan.
Diawali pada abad ke-15 dimana otoritas gereja sudah tidak lagi menjadi satu-satunya institusi yang memiliki klaim mutlak dalam menciptakan kedamaian karena diredusir, didekonstruksikan dan dimarjinalkan sedemikian rupa, tapi ternyata hal itu masih saja belum mampu menciptakan perdamaian yang hakiki sehingga perlu wacana baru yang mampu mewujudkan cita-cita tersebut. Sehingga muncullah wacana-wacana pemikiran yang baru yang asing dan masih belum mampu dideteksi oleh sebagian orang, sehingga ia begitu cepat mengakar apa lagi dibungkus dengan kemesan yang menarik. Ibarat obat medis dengan kemasan yang indah dan ditulis bermacam-macam khasiatnya; menghilangkan ini, itu, menambah daya ini, itu, tanpa zat ini, itu, harga terjangkau dan lain sebagainya, jadilah ia obat yang mujarab untuk penjual, tanpa ada khasiat sama sekali untuk pembeli. Itulah perumpamaan kemasan wacana pemikiran yang baru, nyeleneh dan merusak ini. Dan diantara bentuk wacana pemikiran itu adalah Pluralisme Agama. Walaupum hal tersebut bukanlah baru, namun jikalau tolak ukur kita adalah kesemarakannya, khususnya di Indonesia maka mau tidak mau hal tersebut harus kita katakan sebagai barang baru, walaupun tidak layaknya barang baru, yang baru keluar dari pabriknya.
Dengan berbagai dalih dan tawaran yang menggiurkan; perdamaian, kebebasan, kemajuan dan lain sebagainya, wacana pemikiran yang menyesatkan ini benar-benar telah menemukan tempatnya dihati setiap insan, tak terkecuali ummat Islam yang dari awal sudah memiliki tatanan dan pandangan hidup sendiri dalam menanggulangi berbagai macam penyakit di atas. Cepatnya arus virus mematikan ini membuat berbagai kalangan pemikir Islam merasa begitu perlu untuk menangkalnya demi menjaga keutuhan ummat Islam; aqidah, syari'at, ukhuwah islamiyah dan persatuannya. Maka tulisan sederhana ini pun ingin sedikit berperan membantu untuk membuka mata hati ummat Islam pada umumnya untuk lebih mengenal segala macam virus yang berpotensi menghancurkan segala aspek-aspek kehidupan ummat Islam ini.

Sejarah dan Akar Pluralisme Agama
Dimulai dengan merebaknya wacana pengglobalisasian dalam bidang politik dan ekonomi yang digulirkan oleh barat, kehidupan agama yang sebelumnya memang sudah dibatasi hanya beroperasi dalam wilayah privat pun tidak ketinggalan untuk didekonstruksikan, dengan alasan, hal tersebut tidak hanya menghambat globalisasi itu sendiri tetapi juga merupakan penghalang dalam kehidupan yang penuh dengan perdamaian. Maka dunia pun harus rela menerima wacana baru itu, yaitu kehidupan dalam satu agama dan mazhab.
Adalah bermula dari liberalisme politik yang dikumandangkan oleh tokoh-tokohnya pada itu, yang hal tersebut disebabkan oleh kondisi yang serba tidak menentu dan pasti, sehingga wacana pluralisme agama pun ikut terseret kedalamnya, tidak mengherankan jikalau banyak tokoh-tokoh barat mengatakan bahwasanya munculnya gerakan liberalisme politik lebih disebabkan oleh kondisi social yang carut-marut . Hal tersebut seperti dikemukakan oleh pemikir keislaman, Muhammad Legenhausen, yang juga berpendapat bahwasanya munculnya paham "liberalisme politik" di Eropa pada abad ke-18, sebagian besarnya disebabkan oleh kondisi masyarakat ketika itu yang rusak akibat memuncaknya sikap intoleran dan konflik-konflik etnis dan sectarian yang pada akhirnya menyeret kepada pertumpahan darah natar ras, sekte dan mazhab pada masa reformasi keagmaan .
Meskipun gagasan pluralisme ketika itu sudah mulai menggema di dalam alam pemikiran Eropa khususnya, dan Barat secara umum, namun dari sekian banyak komunitas Barat dan Kristen ketika itu tetap masih ada sedikit komunitas atau sekte Kristen itu sendiri yang menglami perlakuan diskriminatif dari berbagai institusi kegerejaan, seperti yang dialami oleh sekte Mormon, yang tidak diakui oleh gereja karena dianggap sebagai gerakan heterodox, sampai akhirnya di penghujung abad ke-19 timbul protes keras dari presiden Amerika Serikat, Grover Cleveland. Begitu juga dengan doktrin gereja "tidak ada kesalamatan tanpa melalui Yesus" yang tetap dipegang teguh oleh gereja katolik, hingga diusungnya konsili Vatikan II pada awal enampuluhan abad kedua puluh yang mendeklarasikan keselamatan umum, bahkan bagi agama-agama diluar agama Kristen .
Dari keterangan diatas dapat dilihat bahwasanya gagasan pluralisme agama bermula dari keinginan orang-orang Kristen yang Kritis yang ingin meletakkan landasan guna berinteraksi secara aktif-toleran dengan agama-agama lain. Dan hal tersebut diatas merupakan gerakan reformasi dari pemikiran agama atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh gereja kristen pada abad kesembilan belas, dalam gerakan yang kemudian dikenal dengan "liberal protestantisme" dan Friedrich Schleiemecher sebagai bapak dari aliran ini .
Beranjak ke awal abad 20, gerakan pluralisme agama mulai menancapkan taringnya dan hal tersebut mulai marak diperbincangkan dalam konteks pemikiran teologi Barat dan wacana pemikiran filsafat, tokoh yang menjadi gerakan ini di masa itu adalah seorang teolog Kristen liberal Ernst Troeltsch (1865-1923). Dalam sebuah makalah yang berjudul "The Place of Christianity among The World Religions" (Posisi Agama Kristen diantara Agama-Agama Dunia) yang disampaikan dalam sebuah kuliah di Universitas Oxford menjelang wafatnya pada tahun 1923 . Troelstch memaparkan gagasan pluralisme agama secara argumentative bahwa dalam semua agama ada, termasuk Kristen, selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak ada satu agama pun yang memiliki kebenaran mutlak , konsep ketuhanan di muka bumi beragam dan tidak tunggal .
Selanjutnya mulai muncul pemikir-pemikir ternama yang mengikuti jejak Troeltsch, seperti; Willian E. Hocking dengan bukunya Re-thinking mission, pada tahun 1923, selanjutnya Living Religions and A World Faith, dengan penuh keyakina ikut memaparkan agama baru yang berdiri dalam satu keyakinan bahwasanya kebenaran ada dimana, tidak hanya terdapat dalam satu agama melainkan di semua agama, yang mana hal tersebut selaras dengan konsep pemerintahan global . Masih dalam pemikiran yang sama muncul selanjutnya sejarawan Inggris ternama, Arnold Toynbee (1889-1975) dalam karyanya An Historian's Approach to Relegions dan Christianity and World Religions (1975)
Gagasan pluralisme agama mencapai fase matang secara konseptual terjadi pada akhir abad ke-20. Beberapa tulisan yang memperlihatkan gagasan pluralisme agama secara lebih matang dan baku antara lain tulisan Gifford Lecture An Interpretation of Religions: Human Respons to the Transcendent (Interpretasi Agama-agama: Respon manusia terhadap Tuhan). Kemudian John Hick dalam beberapa bukunya telah berhasil merekonstruksi landasan-landasan teoritis pluralisme agama sehingga menjadi sebuah teori yang baku dan populer saat ini sehingga gagasan inipun melekat dengan namanyan kalau tidak kita mengatakan ia adalah orang yang paling bertanggung jawab dengan gagasannya ini.
Adapun dalam lingkungan Islam gagasan pluralisme agama merupakan hal baru yang tidak mempunyai akar ideologis atau teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama yang muncul di lingkungan Islam lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh adanya penetrasi dari peradaban Barat modern. Hal ini diperkuat bahwa munculnya gagasan tersebut baru terjadi sesudah perang dunia kedua yaitu ketika mulai terbuka kesempatan bagai generasi muda Muslim untuk memperoleh pendidikan di universitas-universitas Barat .
Sedangkan dalam sisi lain, wacana pluralisme agama menyusup ke dalam wacana pemikiran Islam juga melalui karya-karya pemikir mistik Barat Muslim seperti Rene Guenon dan Frithjof Schuon . Rene Guenon adalah seorang berkebangsaan Perancis. Ia telah mempelajari kebudayaan timur khususnya Islam dan Hindu sejak usia delapan belas tahun. Pada tahun 1912 ia masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Wahid Yahya. Ia meninggal di Mesir tahun 1951 dan meninggal di sana dengan meninggalkan beberapa karya dalam bahasa Perancis. Sedangkan Frithjof Schuon adalah keturunan Jerman, lahir di Swizerland tahun 1907, lalu menjadi warga negara Perancis. Ia kemudian memeluk Islam dan berganti nama Isa Nuruddin Ahmad. Pada tahun 1932 ia mengunjungi Aljazair dan Maroko. Tahun 1938 ke Kairo dan bertemu dengan Rene Guenon yang kemudian menjadi salah satu gurunya .
Baik Rene Guenon maupun Frithjof Schuon keduanya meninggalkan karya-karya yang memuat ide persekutuan agama yang merupakan turunan dari gagasan pluralisme agama. Schuon dalam bukunya The Transcendent Unity of Religions menyampaikan bahwa semua agama adalah sama dalam esensinya dan berbeda hanya dalam bentuknya. Esensinya sama karena berasal dari sumber yang sama yang Absolut, dan bentuknya berbeda karena adanya perbedaan dalam memanifestasikan yang Absolut .
Rintisan Rene Guenon dan Schoun dilanjutkan kembali oleh Sayyed Hosen Nasr, seorang tokoh Muslim Syi'ah moderat, orang yang paling bertanggungjawab dalam penebaran paham Pluralisme agama di kalangan Islam tradisional. Dalam tesisnya tentang pluralisme agama Nasr mengusung Shopia perennis atau perennial wisdom (al-Hikmat al-Kholidah) yaitu sebuah wacana untuk menghidupkan kembali ke "kesatuan metafisikal" yang tersembunyi di setiap ajaran agama mulai dari zaman Adam as. Lebih jelas Nasr mengatakan bahwasanya memeluk agama apapun, berarti memeluk seluruh agama, karena semua agama pada hakekatnya adalah sama, karena ia bersumber dari yang absolute, yaitu kebenaran hakiki. Ia melanjutkan, perbedaan antar agama hanya terjadi pada symbol-simbol dan kulit luar saja, sedangkan inti dari setiap agama itu adalah satu . Lebih lanjut kami akan memaparkan konsep Pluralisme agama yang dibangun oleh Nasr di depan.
Sejarah pluralisem lebih seimpelnya dapat kita telusuri dari orientasinya, sudah barang tentu hal tersebut berlandasan penghapusan aspek eksluvisme suatu agama ingin dihapus dan timbullah pemahaman yang sifatnya inklusif sehingga ujung-ujungnya adalah semua agama tidak ada yang superior dalam artian klaim kebenaran mutlak dalam suatu agama dituntut sama dengan agama-agma yang lain, dan inilah sebenarnya problema agama Kristen yang telah penulis paparkan diatas , sejak kapan ia muncul dan berkembang. Sehingga dari sini kita dapat menangkap sebuah pesan bahwa pada dasarnya pluralisme agama itu sendiri sudah muncul sejak dimulainya masa dimana agama (Kristen) tidak lagi memiliki ruang sempit, sehingga ia bisa berdampingan dengan teologi agama-agam lain .
Kemasan Pluralisme Agama
Ada banyak cara dan media yang digunakan oleh kaum Pluralis dalam menyebarkan misi mereka, tentu dengan harapan apa yang mereka perjuangkan benar-benar diterima oleh khalayak umum, sekuat tenaga mereka kerahkan dengan berbagai macam dalih lewat berbagai macam media. Dialog dan muktamar-muktamar selalu menjadi pilihan mereka dalam menyebarkan virus ini ke masyarakaat dunia. Diantara media-media tersebut adalah:
1. Taqribul Adyan
Diadakan kebanyakan dari muktamar-muktamar dalam proses pluralisme agama baik nasional maupun internasional untuk menjalin suatu hubungan antara agama-agama yang berbeda. Dalam alam pemikiran biasanya mereka menggunakan beberapa hal berikut: (1) Mempercayai "kepercayaan" agama lain, walaupun kepercayaan itu tidak sampai pada kepercayaan yang sepenuhnya. (2) Membuang semua kebohongan dan kepastian, dengan mengumpulkan intisari dari agama-agama yang ada sehingga sampai pada satu titik temu. (3) Mengakui terhadap keyakinan yang lain dan menghormati kepercayaan mereka dan syiar yang mereka junjung serta membuang jauh jiwa perlombaan dalam sebaik-baiknya kepercayaan.
Sedang dalam pendekatan metodologi, biasanya mereka menggunakan beberapa hal; (1) Anjuran untuk mengakui eksistensi agama lain sebagaimana ia ingin eksistensi agamanya diakui oleh yang lain. (2) Menghindari pembahasan terhadap permasalahan-permasalan keyakinan yang berduri. (3) Melupakan segala kejadian sejarah yang telah berlalu dan tidak mengungkit kembali dan berupaya untuk tidak terpengaruh dengan apa yang telah terjadi itu. (4) Menunjukkan wajah persamaan dan persatuan dan menghilangkan wajah perbedaan dan perpecahan. (5) Saling tolong menolong dalam membangun kerja sama. (6) Saling mempermudah dalam urusan dan saling mengunjungi dan memperbaiki hubungan dalam berbagai pertemuan-pertemuan keagamaan yang bermacam-macam.
Semua ini telah mereka lakukan terhadap agama-agama, bahkan sebagian dari kaum muslimin moderat juga memenuhi panggilan mereka. Biasanya muktamar itu terdiri atas dua agama, Islam dan Nasrani (Kristen), atau tiga dengan Yahudi, bahkan dengan lima agama, dengan Buddha dan Hindu.


2. Wihdatul Adyan
Yaitu mempercayai atas kebenaran semua kepercayaan masing-masing agama yang berbeda-beda, membenarkan semua bentuk peribadatan dengan keyakinan bahwa semua peribadatan itu merupakan jalan kepada tujuan yang satu. Sebenarnya pandangan ini hampir tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, hanya menambahkan pandangan untuk melepaskan keyakinan penuh terhadap agama dan syari'at pada agamanya masing-masing. Kepercayaan yang seperti ini tampak jika kita membuka kembali sejarah masa lalu terhadap suatu Negara pada kurun waktu tertentu yang mana mereka hanya melakukan taqlid buta.
Seperti halnya kaum zindiq daripada para sufi pengikut konsep wihdatul wujudnya Ibnu 'Arabi, atau golongan-golongan kebathinan seperti Ikhwanus Shofa dan Kholanul Wafa. Begitu juga orang-orang pada saat ini yang mengikuti jejak mereka.
Dalam bukunya Bakar Bin Abdillah Abu Zaid menjelaskan pendapat salaf tentang surat Al Baqoroh ayat : 42, yang berbunyi: "Jangan kamu campur adukkan sesuatu yang hak dan yang bathil…", maka salaf memaknai yang hak itu ialah Islam dan yang bathil itu ialah Yahudi dan Nasrani . Dia menjelaskan dengan menukil dari Syaikh Ibnu Taimiyyah yang menjelaskan bahwa agama para nabi itu satu dan itu tidak terhapus, sedang syari'at yang mereka bawa bermacam-macam dan syari'at itu terhapus dengan syari'at nabi terakhir dari para nabi, yaitu nabi Muhammad saw, maka barang siapa yang tidak beriman kepada agama yang di bawa Muhammad dan syari'at yang ia bawa maka ia termasuk orang yang kafir, karena inkar terhadap para nabi, termasuk nabi-nabi mereka.
3. Tauhidul Adyan
Yaitu pembahasan-pembahasan yang terus mengalir dari dahulu sampai sekarang yang mana pembahasan-pembahasan ini untuk menjalin beberapa agama dan kepercayaan dalam satu agama yang mencakup semua agama dan kepercayaan tersebut, dengan melepas dan tidak mengikuti ajaran agama masing-masing dan tunduk kepada agama yang baru tersebut.
Perbedaan yang mendasar antara pendekatan ini dengan pendekatan sebelumnya yaitu bahwa wihdatul adyan meletakkan suatu kebenaran pada kebengkokan dan kesalahan khusus yang mereka mau tanpa menghilangkan kebenaran itu atau menjauhi kebenaran agama lain, kemudian kebenaran-kebenaran itu diikat dalam satu wadah yang mampu mengena pada masing-masing agama tersebut. Sedang tauhidul adyan merupakan reaksi dengan menghilangkan dan menghabiskan semua kebenaran-kebenaran itu dan menghapuskannya dengan satu titik kebenaran yang baru, walaupun intisari dari kebenaran yang satu itu diambil dari berbagai macam kebenaran.
Inilah garis-garis umum dalam pandangan taqribul adyan yang jelas-jelas mengajak kepada kesyirikan, dan proses pemurtadan yang sangat halus sekali sampai-sampai kita tidak mengetahuinya.
"Kalimatun Sawa'", common Platform Pluralisme Agama
Seperti yang telah kami singgung diatas, paham pluralisme pada hakekatnya memiliki sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda tetapi ujung-ujungnya sama. Yaitu; aliran kesatuan transcendent agama-agama dan teologi global, yang pertama lebih merupakan protes terhadap arus globlisasi, sedangkan yang kedua adalah kepanjangan tangan dan bahkan pendukung gerakan globalisasi. Dalam kajian sederhana kali ini, penulis ingin memaparkan secara sederhana apa yang menjadi Common Platform dari Pluralisme agama itu sendiri.
Untuk mengetahui hal diatas tentunya hal yang utama kita bahas adalah definisi pluralime agama itu sendiri menurut John Hick, bapak pluralisme agama.
Pluralisme, secara ekplesit menerima semua posisi yang lebih radikal yang diaplikasikan oleh inklusivisme; yaitu satu pandangan bahwa agama-agama besar mewujudkan persepsi, konsepsi, dan respon yang berbeda-beda tentang "The Real", juga setiap agama menjadi jalan untuk menemukan keselamatan dan pembebasan. Atau lebih sederhana lagi gagasan pluralisme sebagai pengembangan dari inklusivisme, bahwa agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju pada tujuan yang sama .
Lebih lanjut, Sayyed Hosaen Nasr, orang yang paling bertanggung jawab terhadap pluralisme agama dalam dunia Islam khususnya, dengan konsep "al-Himah al-Kholidah" menjelaskan konsep pluralisme agama, ia mengawali dengan membuat analogi teologi agama-agama yang sudah dijelaskan oleh Schoun sebelumnya, dengan sebuah piramida yang mana tuhan berada pada puncaknya, sedangkan semua agama mengalir dibawahnya dari titik tersebut, begitu juga dalam waktu yang sama semua agama naik dari bawah ke atas saling berdekatan dan akhirnya bertemu di titik tersebut . Dan inilah gambaran yang juga dipakai oleh Prichjouf Schoun dengan konsep pluralisme agamanya; the transcendent unity of religions (kesatuan transcendent agama-agama), yaitu kesatuan yang melampaui segala macam bentuk dan sosok lahiriyah, eksternal. Oleh karena itu Schoun menganggap bahwa berhenti pada sisi eksternal (exsoteric) serta mengangapnya sebagai yang absolute adalah kesalahan fatal, kebenaran eksternal pada hakekatnya dibatasi oleh batasan-batasan konseptual ekspresif dan definitive. Dengan kata lain, yang absolute atau yang mutlak dalam semua agama, termasuk Islam, adalah dimensi esoterisnya, adapun dimensi eksoterisnya harus tetap relative untuk berkoeksistensi dengan agama-agama lainnya . Dan walaupun begitu, relativitas dimensi eksetoris ini sama sekali tidak akan mempengaruhi kemutlakan atau absolutisme masing masing agama dalan kaitannya dengan dunia partikulanya sendiri , bagaimana hal ini bisa terjadi, berikut kami paparkan apa yang dikatakan oleh Sayyed Hosaen Nasr.
Konsep yang dibawakan oleh Pritjof Schoun ini meskipun nampka kontradiktif menurut Nasr adalah penting dan krusial sekali untuk menyelesaikan problem pluralitas agama atau klaim-klaim kebenaran yang saling berseberangan. Hal ini menurut Nasr bisa dijelaskan dengan dua cara, Pertama, lewat pandangan "tradisional" yang selalu menegaskan apa yang ia sebut dengan "Primordial Truth" yaitu, bahwa "hanya Zat yang absolute saja yang absolute" oleh karena itu apa saja yang selain absolute, baik jelmaan umumnya dan agama-agama khususnya, masuk ke dalam wilayah relative, namun, oleh karena agama merupakan sosok jelmaan Zat yang absolute, maka segala sesuatu yang ada dalam agama, termasuk hal-hal yang diwahyukan melalui wahyu atau logos; seperti al-Quran, bagi ummat Islam dan Yesus bagi ummat Kristen, sudah barang tentu ia sacral dan olehnya absolute tanpa harus menjadi Zat yang absolute itu sendiri. Oleh karena itu keabsolutan suatu agama tidaklah mutlak melainkan ia nisbi belaka atau relative, yaitu sesuai dengan dunia partikularnya dan lingkungannya sendiri , Nasr menanalogikan hal tersebut dengan matahari persis, ia mengatakan: dalam tata surya kita, matahari kita adalah satu-satunya namun dalam waktu yang sama ia hanyalah salah satu dari sekian banyak matahari yang menyinari alam jagad ini, wujud matahari yang lain sama sekali tidak menjadikan matahari kita berhenti menjadi matahari kita sendiri dan pusat tata surya kita serta pemneri kehdupan alam kita dan seterusnya. Maka setiap tatasurya mempunyai mataharinya sendiri yang khusus yang dalam waktu yang sama ia bisa a sun (salah satu matahari), dan juga bisa the sun (satu-satunya matahari), Karena sungguh tidak mungkin matahari kita menyinari tatasurya yang lain, atau sebaliknya matahari dari tatasurya yang lain menyinari tatasurya kita. Dan demikian juga dengan agama, ia adalah agama (nakirah) dan sekligus juga agama (ma'rifah) .
Kedua; setiap agama pada dasarnya memiliki model dasar, atau model didalam ideal, ia berpendapat bahwasanya agama pada dasarnya adalah penjelmaan atau manifestasi dari model dasar yang merupakan salah satu aspek dari hakikat ketuhanan, hakikat utuh suatu agama, sepeti Kristen, Islam, sebagaimana yang wujud dalam sejarah dan sebagaimana manifest secara nyata sepanjang sejarahnya, tidak lain adalah sesuatu yang tertulis dalam model dasarnya di alam ideal, oleh karena itu perbedaan dalam model-model dasar ini adalah yang sejatinya menentukan perbedaan tabi'at setiap agama, dan pada gilirannya timbullah keberagaman agama, namun keberagaman ini selalu merefleksikan yang tunggal dan terangkum dalam jangkauan lingkaran yang tunggal pula, oleh karena itu setiap yang memfokuskan hakekat ketuhanan adalah sekligus memfokuskan dirinya pada lingkaran yang inclusive .
Berdasarkan hal diatas Nasr menambahkan bahwasanya setiap agama memiliki wilayah-wilayah sendiri yang mana hal tersebut menjadikannya beda dengan yang lain, tetapi pada hakekatnya ia adalah yang lainnya juga, oleh karena itu agama mutlak secara relative, dan bahwasanya setiap agama adalah agama juga di waktu yang sama, dan hanya zat yang mutlaklah yang mutlak(Absolutely absolute).
Hal yang dijelaskan diatas kata Nasr adalah keinginan yang sebenarnya dari agama Islam itu sendiri, dan ia mengatakan hal tersebut tidak ubahnya seperti ungkapan tradisi ignotisisme Islami (sufisme) "al-Tauhidul Wahid" atau juga yang dikenal dalam tradisi Hindu dengan "sanatana dharma" . bahkan lebih dari itu Nasr mengatakan bahwa inilah agama yang "Hanif" yang ditegaskan oleh agma Islam itu sendiri. Dan Nasr pada akhirnya menyimpulkan bahwasanya semua agama adalah ibarat "jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama" (all paths lead to the same summit) .
Inilah yang dipegang teguh oleh para pengikut pluralisme dunia tak terkecuali di Indonesia yang statement-statmentnya selalu mengagungkan Sayyed Hosaen Nasr, Huston Smith dan Pritjhop Schoun, yang selajutnya akan kami kemukakan statemen-statement mereka di depan. Dan apa yang kita kemukakan diatas benar-benar mereka jadikan kalimatun sawa', sebagai common platform dalam menjustifikasikan kebenaran semua agama, istilah pendek dari pluralisme agama.

Justifikasi Pluralisme Agama dengan al-Quran
Walaupun sedikit agak dipaksakan, kalau tidak memang dipaksakan, untuk menjustifikasikan kebenaran pluralisme agama. Dan ayat-ayat al-Quran tentunya menjadi senjat ampuh untuk melakukan hal tersebut, dan diantara ayat-ayat tersebut adalah, surah Al-baqarah: 62, surah Ali Imran: 84, dan surah al-Maidah: 69, berikut ini;
•     •                   
69. Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja[431] (diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

 •                 •           
Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan Hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri."(al-Maidah; 69)

•      •              
62. Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Alla], hari Kemudian dan beramal sale], mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati

Inilah ayat-ayat al-Quran yang selalu mereka pakai sebagai dalil dalam menjustifikasikan kebenaran pluralisme agama, mereka mengatakan bahwanya agama adalah orang-orang yang diberi ganjaran oleh Allah karena mereka beriman kepada Tuhan, Hari akhir, dan mengerjakan amal soleh, apapun jalan yang mereka tempuh; baik itu Islam, Yahudi, Kristen maupun Shobiin.
Lebih jelas lagi, Nurcholis Madjid, bapak pluralisme agama di Indonesia, mengatakan bahwasanya ayat-ayat tersebut sudah sangat jelas sekali mengindikasikan bahwasanya al-Quran itu sendiri sarat akan nuansa dukungan terhadap pluralisme agama, ia menegaskan lagi jikalau kita berkomitmen mengimani al-Quran seharusnya juga berkimitmen untuk menjalankan apa yang ada didalamnya, dan salah satu contohnya adalah mendukung pluralisme agama yang al-Quran itu sendiri dengan jelas menyatakannya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pluralisme agama sesungguhnya adalah sudah merupakan aturan Tuhan (Sunnatullah) yang tidak akan berubah, sehingga tidak mungkin dilawan atau dipungkiri .
Di Indonesia, Tidak hanya Nuscholis Majdid saja yang bersuara lantang dalam meneriakkan Pluralisme agama, masih banyak lagi tokoh-tokoh dibalik layar atau juga didepan layar yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal, sekali lagi, ayat-ayat diataslah yang menjadi senjata ampuh dalam melegalkan paham ini. Ayat-ayat diatas sungguh merupakan great weapon dalam kajian ini, berbagai golongan dan generasi telah mencoba untuk menggali hakekat dari ayat ini. Merupakan sebuah kesombongan bagi kita jikalau kita tidak mau berpijak pada penafsiran kaum-kaum awal generasi awal yang mereka adalah generasi paling dekat dalam meneruskan tongkat pemikiran para shahabat, orang-orang yang paling paham tentang ajaran agama Islam karena merekan hidup dibawah pengawasan Rasulullah saw. Tafsir-tafsir ini yang kita sekarang lebih senang untuk menyabutnya sebagai tafsir klasik, klasik bukan berarti kuno yang tidak relevan untuk zaman sekarang.
Sekarang penulis akan berusaha sedikit menjelaskan tentang ayat-ayat diatas guna menggali makna yang tersembunyi, kalau tidak dikatakan sengaja disembunyikan.
Kata-kata •   pada surat al-Baqarah diatas selalu menjadi pertanyaan, siapakah sebenarya orang-orang yang beriman disini? Satu golongan dari menjelaskan bahwa orang-orang beriman yang dimaskud disini adalah yang beriman kepada Nabi Muhammad saw sebelum beliau diutus, adapula yang mengatakan bahwa orang beriman disini merujuk pada orang-orang yang beriman dari ummat-ummat terdahulu . Maka orang-orang yang terdahulu yang percaya akan kedatangan nabi Muhammad saw dan kebenaran ajarannya ia disebut sebagai orang yang hanif atau al-Hanifiyah. Al-Quran telah menyebutkan bahwa ajaran nabi Ibrahim juga sebagai yang hanif;
  •              
. Dan mereka berkata: "Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk". Katakanlah : "Tidak, melainkan (Kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik".(al-Baqarah: 135)

    •        
. Katakanlah: "Benarlah (apa yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.(Ali Imran: 95)


         •         
"Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya (an-Nisa: 125)"

                 
Katakanlah: "Sesungguhnya Aku Telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik".(al-An'am: 161)

    •         
Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.(an-Nahl: 123)
Dari ayat diatas at-Thobari menfsirkan term   (al-Hanifiyah) sini sebagai yang lurus yang konsisten dari segala sesuatu dan itu melekat pada diri Ibrahim dan ajarn yang diembannya,
Disamping itu juga ayat-ayat tentang Ibrahim menyangkal dengan jelas pengajuan agama Yahudi dan Kristen bahwa mereka berhak untuk disebut sebagai agama Allah dan Ibrahim, begitu juga dengan anggapan mereka tentang Musa dan pengingkarannya kepad Isa dan Injil, Muhammad dan al-Quran telah dipatahkan oleh ayat diatas . Timbul disini pertanyaan, jikalau al-Hanifiyah bukan Yahudi dan bukan pula Nasrani, lantas apakah ia?
Sesungguhnya Ibrahim adalah bapak para Nabi, imam bagi orang-orang yang bertakwa, suri tauladan para utusan Allah dan sahabat sang pengasih , disebut ajaran yang hanif karena dialah imam pertama yang mewajibkan para hamba Allah untuk menunaikan hajji serta patuh kepadanya, baik pada zamannya sampai zaman datangnya hari pembalasan .
Dari bebrapa pendapat diatas pendapat al-Thabari adalah pendapat yang paling pas Karena ia mengatakan bahwa agama yang hanif disini memiliki banyak criteria, yaitu; berhaji, khitan, dan konsosten terhadap agama Ibrahim serta mengikuti dan patuh terhadap ajarannya, yaitu beriman kepada Allah yang maha esa dengan berbagai konsekuensinnya .
Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa agama yang hanif disini adalah agama Islam yang sesuai dengan keriteria diatas, bukan agama Yahudi dan buka pula agama Nasrani. Dan hal ini seperti firman Allah swt;
     
Perlu diketahui bahwasanya Allah tidak pernah menebut kata kecuali diikuti setelah kata-kata diatas (dan dia sekali-kali bukanlah orang musyrik, kalaupun Allah tidak menyebut kata-kata kedua secara bersamaan pasti Allah mendahalui kata dengan kewajiban beriman kepada Allah semata dan mengakhirinya dengan kewajiban sholat dan menunaikan zakat .
Dari pembahasan diatas jelaslah bahwasaya kata hanif (Hanafiah) bukanlah untuk Yahudi juga bukan untuk Nasrani, apalagi Nasrani dan Yahudi zaman sekarang.
Sekarang kita akan membahas apakah agama yahudi sekarang masih relevan dengan ayat diatas yang kata mereka adalah legalitas dari pluralisme agama.
Para mufassir telah sepakat bahwa sebab turunya ayat   oleh Salman al-Farisi menanyakan prihal teman-temannya yang belum mengikuti ajaran nabi Muhammad. Ketika Salman berbuvara kepada Nabi Muhammad tiba-tiba Salman memuji rekan-rekannya seraya ia berkata: mereka sholat, berpuasa. Beriman kepadamu dan bersaksi bahwa engkau aka diutus sebagai nabi. Maka, ketika Salman berhenti memuji mereka Nabi berkata: wahai Salman mereka adalah penghuni Neraka, maka ketika itu Salman bersedih dan menurunkan ayat diatas .
Sejatinya ayat tersebut hanya diperuntukkan oleh ummat Musa dan bagi mereka yang memegang teguh Taurat dan sunnah Nabi Musa as, namun barang siapa yang masih memegang teguh Taurat dan sunnah Nabi Musa as alias tidak meninggalkannya dan tidak tidak mengikuti Nabi Isa as setelah kedatangan maka ia akan hancur, begitu pula jika ia tidak mengikuti ajran Nabi Muhammad setelah kedatangannya maka ia kan hancur juga .
Dan penafsiran diatas diperkuat dengan penafsiran Ibnu Abbas bahwa sesungguhnya ayat di atas mansukh dengan ayat dalam surah Ali Imran berikut ini;
             
Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.(Ali Imran; 85).
Dari ayat diatas jelaslah bahwasanya Allah tidak pernah menerima perbuatan orang yang tidak mengikuti syari'at nabi Muhammad, sedangkan mereka yang datang sebelum Nabi Muhammad adalah mereka-mereka yang mengikuti sunnah nabi-nabi yang diutus untuk mereka sebelum Nabi Muhammad saw .
Selanjutnya kita akan membahas makna dari Nashara, beberapa mufassir mengatakan bahwa Nashara tidak berada pada kebenaran kecuali mereka melaksanakan apa yang ada di Injil, dan diantaranya adalah mengimani Muhammad sebagai utusan Allah yang terakhir dan beriman kepada Allah yang esa, bukan tiga, dan hal tersebut memang tidak dapat dipungkiri di dalam injil itu sendiri. Hal tersebut tertera dalam surat berikut ini:

   •                               •  •         
(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka[574]. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.(al-'Araf; 157)

Dan juga ayat selanjutnya:
             
Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.(Ali Imran; 85).

Dari ayat diatas jelaslah bahwasanya Nashara sudah tidak relevan lagi dengan konteks sekarang karena mereka sudah menjalankan syari'at yang ada dalam Injil yang memerintahkan mereka untuk beriman kepda Allah yang esa dan Nabi Muhammad saw .
Dan sekarang mari kita membahas agama selanjutnya al-Shabi'ah, ada beberapa pengertuian dari para mufassir klasik yang dirasa penulis perlu untuk untuk diungkapkan disini; as-Shabi'ah adalah golongan dari ahlu kitab, dikatakan pula kelompok antara Yahudi dan Majusi; ada yang mengatakan suatu kaum antara Yahudi dan Nasraani, ada yang bilang mereka bukan Yahudi dan bukan pula Nasrani dan mereka tidak memiliki agama . Dan ada pula yang mengatakan mereka adalah agama yang lain yang juga beriman kepada Allah, dan ada juga yang mengatakan mereka juga berbpuasa, shalat, dan hajji , tetapi ada yang pas dalam mengungkapkan makna dari as-Shabi'ah, yaitu bahwa keimanan as-Shabiin yang benar adalah yang beriman kepada nabi Muhammad saw dan segala apa yang dibawanya, seperti yang diungkapkan oleh Abu Muhammad Abdulhaq bin Ghalib bin Athiyah al-Andalusi, Juz pertama dalam tafsirnya. Dan mereka-mereka sekali lagi tidaklah relevan untuk samakan dengan konteks zaman sekarang dikarenakan mereka tidak melaksanakan perintah-perintah diatas.
Dari keterang diatas jelaslah bahwanya secara teologis saja sungguh sangat berbeda antara ummat Islam, Yahudi, Nasrani dan Shabiin, yaitu terletak pada kepercayaan terhadap Nabi Muhammad sebagi utusan Allah yang terakhir dan juga keta'atan dalam mengikuti syari'atnya, dan itulah yang tidak kita temukan dalam ketiga agama diatas sehingga sungguh sulit untuk memukulratakan kebenaran agama disini, yang mana hal-hal yang fundamentalis yang merupakan cirri khas setiap agama sudah berbeda satu sama sailnnya.
Inilah penjelasan singkat dari ayat-ayat diatas yang selalu digunakan oleh kaum pluralis dalam melegalkan pluralisme agama yang berkedok ayat-ayat al-Quran yang telah diselewangkan dari makna sebenarnya, tentunya dengan menggunakan penafsiran yang bebas yang menggunaka akal semata, tanpa metode-metode yang baku.

Kerancuan Statement dari Kaum Pluralis
Berikut penulis ingin memaparkan sedikit apa yang dibahas oleh kaum pluralis yang tersebar di website mereka, yang sudah barang tentu intinya adalah untuk menyerang aqidah ummat denan berbagai dalil, diantaranya adalah apa yang diucapkan oleh Ahmad Fuad Fanani, Ketua Program Kajian Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Dosen FE UHAMKA, Jakarta, lebih lanjut ia mengatakan;
"Pengakuan terhadap pluralisme agama dalam sebuah komunitas sosial menjanjikan dikedepankannya prinsip inklusivitas (keterbukaan) –suatu prinsip yang mengutamakan akomodasi dan bukan konflik- di antara mereka. Sebab, pada dasarnya masing-masing agama mempunyai berbagai klaim kebenaran yang ingin ditegakkan terus, sedangkan realitas masyarakat yang ada terbukti heterogen secara kultural dan religius. Oleh karena itu, inklusivitas menjadi penting sebagai jalan menuju tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai kemungkinan unik yang bisa memperkaya usaha manusia dalam mencari kesejahteraan spiritual dan moral. Realitas pluralitas yang bisa mendorong ke arah kerja sama dan keterbukaan itu, secara jelas telah diserukan oleh Allah Swt dalam QS. Al-Hujurat ayat 14. Dalam ayat itu, tercermin bahwa pluralitas adalah sebuah kebijakan Tuhan agar manusia saling mengenal dan membuka diri untuk bekerja sama.
Dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 213 juga disebutkan: Manusia itu adalah satu umat. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan beserta mereka-mereka Ia turunkan Kitab-kitab dengan benar, supaya Dia bisa memberi keputusan antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dalam ayat itu muncul tiga fakta: kesatuan umat dibawah satu Tuhan; kekhususan agama-agama yang dibawa oleh para nabi; dan peranan wahyu (Kitab suci) dalam mendamaikan perbedaan di antara berbagai umat beragama. Ketiganya adalah konsepsi fundamental Alquran tentang pluralisme agama. Di satu sisi, konsepsi itu tidak mengingkari kekhususan berbagai agama, di sisi lain konsepsi itu juga menekankan kebutuhan untuk mengakui kesatuan manusia dan kebutuhan untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih baik antar umat beragama (The Islamic Roots of Democratic Pluralism, 2001).
Dari statement diatas penulis mendapatkan berbagai kerancuan yang diajukan oleh saudar Ahmad Fanani, ia mengatakan bahwasandya al-Quran sudah meleglitir Pluralisme agama dengan memakai ayat al-Quran surah al-Baqarah ayat 213, sayat menganggap apa yang disampaikan oleh saudara Ahmad Fuad Fanani yang keliru, kalau tidak sengaja mengkelirukan, ayat diatas, ayat yang kurang lebih artinya sebagai berikut;"Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi Keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang Telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, Karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus."
Sekilas, dari artinya saja kita dapat memahami bahwasanya ayat tersebut tidak lah berkeingingan untuk menyatukan kebenaran agama, tetapi lebih dari keinginan untuk menyelesaikan perselisihan ummat sebelum kita yang memisahkan mereka, padahal sebelumnya mereka adalah ummat yang satu. Perlu diketahui disini, bahwasanya kata-kata " Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi Keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan" bukan dimaksudkan untuk kita yang hidup zaman sekarang, tetapi untuk setiap ummat yang hidup pada zamanya, sedangkan zaman kita sekarang adalah Nabi Muhamad saw utusannya, sehingga kitab yang kita pakai adalah al-Quran bukan kitab-kitab sebelumnya, karena kitab-kitab tersebut hanyalah diperuntukkan bagi ummat sebelum kita. Sehingga kata-kata umat yang satu hanyalah untuk ummat-ummat yang hidup pada zamannya saja. Dan hal tersebut dipertegas lagi dengan ayat selanjutnya "tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang Telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, Karena dengki antara mereka sendiri" disini perlu dicatat bahwasnya Allah tidak mengatakan "Kita-Kitab", artinya pada setiap ummat tidak diutus bermacam-macam kitab yang mana jika begitu adanya maka sudah barang tentu Allah akan melegalkan semua Agama yang memiliki setiap kitab. Dan tentunya Allah memang tidak melakukan hal yang demikian.
Sedangkan Ahmad Fuad Fanani lebih jauh mengatakan bahwasanya Allah telah mengutus semua agama dengan karakteristiknya masing-masing, timbul pertanyaan disini, karakter yang bagaimana yang dimaksud oleh Fanani? Apanya yang membuat mereka berbeda dengan agama yang lain? Jikalau yang membedakan mereka hanya pada nabinya saja, hal itu tidak perlu diperdebatkan lagi, karena memang Allah tidak mengutus seorang Nabi saja. Tetapi jikalau yang dimaksud adalah ajaran dan syari'atnya maka hal tersebut bukanlah dari Allah, karena Allah tidak pernah membuat agama yang isinya adalah beriman kepada tiga Tuhan, apalagi beriman kepada banyak Tuhan yang terbuat dari berbagi macam benda. Allah mengirim para rasul yang dengan rasul tersebut ada agama baru tetapi tetap tidak berbeda, intinya hanyalah Beriman kepada Allah dan mempercayai bahwasanya Rasulullah adalah utusannya yang terakhir, dan memang merupakan kenyataan bahwasanya setiap kitab-kitab (al-Quran, Injil, Taurat dan Zabur) membicarakan akan Nabi terakhir tersebut.
Selain Ahmad Fuad Fanani, masih ada lagi oknum-oknum di balik Pluralisme agama diantaranya adalah Abd Moqsith Ghazali, Mahasiswa Program S3 Universitas Islam Negeri, yang sempat saya baca tulisannya di internet, dalam tulisannya yang membahas tetang problematika al-Quran ketika ia berhadapan dengan ayat-ayat, yang kata mereka bersifat pluralis, ia mengatakan:
Sesungguhnya pluralisme telah menjadi kesadaran agama-agama sejak mula. Agama umumnya muncul dalam lingkungan pluralistik dan membentuk eksistensi diri dalam menanggapi pluralisme itu. Bahkan, dikatakan bahwa setiap agama justru lahir dari proses perjumpaan dengan kenyataan pluralitas. Dus, pluralisme adalah fakta sosial yang selalu ada dan telah menghidupi tradisi agama-agama. Walau demikian, dalam menghadapi dan menanggapi kenyataan adanya berbagai agama yang demikian pluralistik itu, agaknya setiap umat beragama tidaklah monolitik. Mereka cenderung menempuh cara dan tanggapan yang berbeda-beda, yang jika dikategorisasikan terbelah menjadi dua kelompok yang saling berhadap-hadapan.
Pertama, kelompok yang menolak secara mutlak gagasan pluralisme agama. Mereka biasanya disebut sebagai kelompok eksklusivis. Dalam memandang agama orang lain, kelompok ini sering kali menggunakan standar-standar penilaian yang dibuatnya sendiri untuk memberikan vonis dan menghakimi agama lain. Secara teologis, misalnya, mereka beranggapan bahwa hanya agamanyalah yang paling otentik berasal dari Tuhan, sementara agama yang lain tak lebih dari sebuah konstruksi manusia, atau mungkin juga berasal dari Tuhan tapi telah mengalami perombakan dan pemalsuan oleh umatnya sendiri. Mereka memiliki kecenderungan membenarkan agamanya, sambil menyalahkan yang lain. Memuji agama diri sendiri seraya menjelekkan agama yang lain. Agama orang lain dipandang bukan sebagai jalan keselamatan paripurna. Mereka mendasarkan pandangan-pandangannya itu pada sejumlah ayat di dalam Alquran. Misalnya, [1] QS Ali Imran (3): 85, [2] QS Ali Imran (3): 19 [3] QS Al-Maidah (5): 3. [4] QS An-Nisa (4): 144.
Kedua, kelompok yang menerima pluralisme agama sebagai sebuah kenyataan yang tak terhindarkan. Kelompok ini biasanya berpandangan bahwa agama semua nabi adalah satu. Mereka menganut pandangan tentang adanya titik-titik persamaan sebagai benang merah yang mempersambungkan seluruh ketentuan doktrinal yang dibawa oleh setiap nabi. Bagi kelompok kedua ini cukup jelas bahwa yang membedakan ajaran masing-masing adalah dimensi-dimensi yang bersifat teknis-operasinal bukan yang substansial-esensial, seperti tentang mekanisme atau tata cara ritus peribadatan dan sebagainya. Terdapat ayat yang menjadi menu favorit di kalangan kelompok kedua ini. Misalnya, [1] QS Al-Kafirun (109):6 [2] QS Al-Baqarah (2): 256. [3] QS Al-Maidah (5): 69, [4] QS Al-An'am (6): 108.
Melihat hal di atas, maka muncul tarik tambang antara satu ayat dengan ayat yang lain. Betapa, dalam satu spektrum, pluralisme Quranik diungkapkan melalui janji penyelamatan terhadap orang-orang yang beragama selain agama Islam (QS Al-Baqarah (2):62). Sementara pada spektrum yang lain, absolutisme Islam juga terpampang dengan tegas dalam Alquran. Kontradiksi nyata antara beberapa ayat Alquran yang mengakui sumber-sumber penyelamatan otentik lainnya di satu sisi dan ayat-ayat lain yang menyatakan Islam sebagai satu-satunya sumber penyelamatan di sisi yang lain harus diatasi untuk memungkinkan tegaknya sebuah tata kehidupan berdampingan secara damai dengan umat agama lain.
Dari statement diatas jelas sekali apa yang dimaui oleh saudara Abd Moqsith Ghazali, yaitu keingingan untuk mehilangkan ayat yang kontradiktif, ayat-ayat yang menyatakan abosolutisme yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang benar dengan ayat-ayat yang bersifat pluralis yang cenderung mentoleran kebenaran semua agama.
Seperti yang telah kami singgung diatas, jikalau kita mau jujur maka kita tidak akan menemukan satu ayatpun yang membenarkan agama selain agama Islam. Ayat-ayat; [1] QS Ali Imran (3): 85, [2] QS Ali Imran (3): 19 [3] QS Al-Maidah (5): 3. [4] QS An-Nisa (4): 144. tidaklah berarti semua agama benar, sehingga pemeluknya berhak hidup berdampingan di surga, karena secara logis saja adalah sesuatu yang mustahil jikalau tuhan harus membenarkan agama Nasrani dengan konsep trinitasnya, atau Yahudi yang tidak mengakui adanya Satu tuhan, apalagi agama-agama paganisme yang lain, yang semua patung, mulai dari buruk rupa sampai yang paling cantik rupa dianggap Tuhan, karena jikalau itu yang dimaui tuhan maka Tuhan berbohong ketika Ia mengatakan bahwa Ia adalah satu-satunnya yang patut disembah. Lebih lanjut saudara Muqsith mengatakan bahwa perlunya merubah ayat-ayat yang kontradiktif, yang satu sisi mengakui legalitas pluralisme agama dan di sisi lain menjelaskan secara gamblang tentang Absolutisme Islam, yang tentunya konsekuensi logis dari pernyataan diatas adalah menggugat kafabilitas Tuhan dalam menciptakan wahyu, atau dalam bahasa lain al-Quran adalah sumber permasalahan agama-agama dunia dengan ayat-ayatnya yang problematik
Perlu diketahui bahwasaya ayat-ayat al-Quran tidaklah pernah bertentang antara satu dengan yang lainnya, apalagi Tuhan, pemilik al-Quran itu sendiri, menciptakan problem. Ayat-ayat yang disebutkan diatas semuanya menekankan akan ke-absolutan Islam sebagai satu-satunya agama yang diridloi-Nya. Surat al-Maidah: 69 salah satu ayat yang selama ini mereka jadikan landasan berpijak untuk melegalkan pluralisme agama, seperti yang telah kami paparkan di atas sama sekali tidak mengandung arti membenarkan agama Yahudi, Nasrani, atau agama paganisme yang lainnya. Ayat diatas hanyalah berkeinginan untuk membenarkan apa yang ada dalam agama Islam, beriman kepada Allah yang satu, dan Rasulullah saw sebagai utusan terakhirnya, dan itupun berlaku pada waktu ketika Islam belum dibawa oleh nabi Muhammad saw. dan setelah Beliau diutus, semua agama-agama sebelumnya yang syari'atnya belum sempurna, disempurnakan oleh Islam yang di bawa oleh Beliau, sehingga secara otomatis agama-agama tersebut menjadi tidak berguna. Dan Allah pun menyatakan hal tersebut dengan firmannya:
            
"Dan barang siapa yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah diterima, dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi"(Ali Imran: 85)
Selain yang kami sebut di atas masih ada lagi mereka-mereka yang getol menyebarkan paham pluralisme agama ini, dan diantaranya adalah Fajar Kurnianto, Peneliti di The Higher Institute of Hadith Sciences, Jakarta. Berikut sedikit tulisannya yang kami ambil dari internet;
Selain itu, pemahaman akan Tuhan itu sendiri juga masih berpotensi memunculkan diskursus yang panjang. Ibnu Arabi, misalnya, ketika mencoba memahami Tuhan, ia menemukan tiga hal penting. Pertama, Tuhan yang mutlak dalam 'kesendirian.' Tuhan dalam tingkatan ini tidak ada seorangpun yang dapat menjangkaunya. Hanya Dia sendiri yang tahu akan diri-Nya sendiri.
Kedua, Tuhan yang sudah tersifati. Misalnya ada sifat al-rahman, al-rahim, dan sebagainya. Teologi Asy'ariyah dalam tradisi pemikiran Islam, misalnya, mengatakan adanya 20 sifat yang 'wajib' bagi Tuhan dan 20 sifat yang 'mustahil' bagi-Nya. Ada pula yang menetapkan adanya 99 nama atau sifat (al-asma al-husna) bagi Tuhan. Dalam Kristen, paham trinitas dalam banyak hal juga terkait dengan sifat Tuhan yang mereka yakini. Dalam Hindu, banyaknya para 'dewa' juga merupakan representasi dari adanya sifat-sifat Tuhan seperti yang mereka yakini.
Dan, ketiga, Tuhan yang telah 'bersemayam' dalam akal pikiran manusia. Dalam tataran ini, masing-masing manusia akan berbicara tentang Tuhan sesuai dengan apa yang ia baca dalam akalnya. Ini berpotensi besar melahirkan aneka ragam bentuk dan pola penafsiran. Tuhan yang dipahami oleh kalangan filsuf bisa jadi sangat berbeda dengan Tuhan yang dipahami oleh kalangan sufi ataupun ahli fikih. Itu semua merupakan hasil yang lahir dari sebab pergulatan pemikirannya ketika membaca teks-teks suci. Wacana pluralisme adalah salah satunya.
Pada hakikatnya, tidak ada satu manusiapun yang mampu memahami Tuhan dalam 'realitas-Nya' yang konkret dan hakiki secara utuh. Manusia hanya dapat mendekati Tuhan, akan tetapi tidak akan mampu menjangkau-Nya secara utuh. Al-Ghazali mengistilahkannya dengan satu ungkapan yang sangat menarik, "Semakin aku mencoba mendekat untuk memahami Tuhan, semakin aku sadar kalau aku tidak mampu memahami-Nya." Konsekuensi logisnya, setiap manusia sejatinya sedang menuju Tuhan. Tidak ada yang dapat memastikan jalan kebenaran yang pasti dan mutlak untuk menuju-Nya.
Masalah kebenaran agama adalah masalah keyakinan. Kalau sudah masuk dalam tataran ini, maka sebetulnya tidak ada seorangpun yang dapat memaksakan satu bentuk keyakinan tertentu terhadap keyakinan orang lain. Walaupun para penganut agamanya mencoba merasionalisasikan agamanya, namun pada akhirnya akan pada satu kesimpulan bahwa agama adalah masalah keyakinan. Adanya agama-agama yang berbeda di penjuru muka bumi ini merupakan kata lain bahwa keyakinan manusia sejatinya memang berbeda-beda.
Pada hemat penulis, wacana pluralisme yang kembali menghangat saat sekarang ini sudah selayaknya disikapi dengan arif dan bijaksana oleh siapapun. Karena, sama halnya dengan wacana-wacana yang lainnya, pluralisme juga berpotensi akan 'tergantikan' dengan wacana-wacana lain yang lebih 'aktual.' Sudah cukup, agama dijadikan sebagai keyakinan diri terdalam setiap individu yang meyakini keberadaan Tuhan yang takan bisa terjangkau secara utuh. Anggapan tentang adanya kebenaran yang juga ada pada agama-agama yang lain, oleh karena itu, tidak saja layak dihormati, namun juga mesti diapresiasi dalam bentuk kerja sama yang konkret dan bernilai positif bagi umat manusia secara menyeluruh.
Dari apa yang dikemukakan oleh saudara Fajar Kurnianto jelas tersirat bahwasanya permasalah pluralisme agama bersumber pada penggambaran arti agama dan selanjutnya Tuhan, atau dalam kata lain agama dan Tuhan adalah sumber dari permasalahan dikarenakan kelemahan manusia yang tidak mampu memahami akan hakekat Tuhan, yang ujung-ujungnya sudah bisa ditebak, adalah melegalkan pluralisme agama, karena semua agama masih bermasalah dengan Tuhannya. Pernyataan itu sebenarnya lebih cocok jikalau kita arahkan ke agama-agama selain Islam, karena Islam sudah memiliki konsep tentang agama dan Tuhan yang utuh dan tidak bisa dirubah dan tidak perlu untuk dirubah dan ditambah konsepnya apalagi dengan ikut-ikutan mengambil konsep agama lain dalam mengkonsep Tuhan.
Dr Hamid Fahmi Zarkasyi, ujung tombak dan Ikon penentang pluralisme agama di Indonesia, menjelaskan tentang problematika Tuhan, ia mengatakan Sejatinya, akar kebingungan Barat mendefinisikan religion karena konsep Tuhan yang bermasalah. Agama Barat - Kristen - kata Amstrong dalam History of God justru banyak bicara Yesus Kristus ketimbang Tuhan. Padahal, Yesus sendiri tidak pernah mengklaim dirinya suci, apalagi Tuhan. Dalam hal ini kesimpulan Professor al-Attas sangat jitu ‘Islam, sebagai agama, telah sempurna sejak diturunkan’. Konsep Tuhan, agama, ibadah, Manusia dan lain-lain dalam Islam telah jelas sejak awal. Para ulama kemudian hanya menjelaskan konsep-konsep itu tanpa merubah konsep asalnya. Sedang di Barat konsep Tuhan mereka sejak awal bermasalah sehingga perlu direkayasa agar bisa diterima akal manusia.
Kita mungkin akan tersenyum membaca judul buku yang baru terbit di Barat, Tomorrow’s God, (Tuhan Masa Depan), karya Neale Donald Walsch. Tuhan agama-agama yang ada tidak lagi cocok untuk masa kini. Tuhan haruslah seperti apa yang digambarkan oleh akal modern. Manusia makhluk berakal (rational animal) harus lebih dominan dari pada manusia makhluk Tuhan. Pada puncaknya nanti manusialah yang menciptakan Tuhan dengan akalnya.
Socrates pun pernah berkata:”Wahai warga Athena! aku percaya pada Tuhan, tapi tidak akan berhenti berfilsafat”. Artinya “Saya beriman tapi saya akan tetap menggambarkan Tuhan dengan akal saya sendiri”. Wilfred Cantwell Smith nampaknya setuju. Dalam makalahnya berjudul Philosophia as One of the Religious Tradition of Mankind, ia mengkategorikan tradisi intelektual Yunani sebagai agama. Apa arti agama baginya tidak penting, malah kalau perlu istilah ini dibuang. Akhirnya, sama juga mengamini Nietzche bahwa tuhan hanyalah realitas subyektif dalam fikiran manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas obyektif. Konsep tuhan rasional inilah yang justru menjadi lahan subur bagi atheisme. Sebab tuhan bisa dibunuh.
Jika Imam al-Ghazzali dikaruniai umur hingga abad ini mungkin ia pasti sudah menulis berjilid-jilid Tahafut. Sekurang-kurangnya ia akan menolak jika Islam dimasukkan kedalam definisi religion versi Barat dan Allah disamakan dengan Tuhan spekulatif. Jika konsep Unmoved Mover Aristotle saja ditolak, kita bisa bayangkan apa reaksi al-Ghazzali ketika mengetahui tuhan di Barat kini is no longer Supreme Being (Tidak lagi Maha Kuasa).
Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Buktinya tuhan ‘harus’ mengikuti peraturan akal manusia. Ia “tidak boleh” menjadi tiran, “tidak boleh” ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia.
Tuhan yang ikut mengatur alam semesta dianggap absurd. Tuhan yang personal dan tiranik itulah yang pada abad ke 19 “dibunuh” Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa Tuhan atau bahkan Tuhan tanpa Tuhan. Dan inilah kurang lebih yang ingin diutarakan oleh Fajar Kurnianto yang, sudah bisa ditebak "batu di balik udangnya", pluralisme agama harus digalakkan karena kalau tidak kasihan dengan agama yang lain yang masih pusing dalam mencari konsep Tuhan yang benar, maka kita harus toleransi, dan bentuk toleransinya adalah "Tuhan kita bunuh saja" maksud lain dari Pluralisme Agama.
Dalam masalah teologis agama Islam tidak pernah toleransi dari dahulu sampai kapan pun. Karena masalah teologis sudah final, tidak ada lagi ruang untuk berijtihad apa lagi mengadakan concili untuk menentukkan bagaiman seharusnya Tuhan…???

Pluralisme Agama, Bentuk Lain Madzahib Haddamah
Bermula dari diutusnya Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah untuk semua ummat manusia, Islam tidak pernah berubah, baik dari segi teologisnya maupun syari'atnya. Ia berasal dari satu sumber yang disampaikan oleh seorang Rasul pilihan yang telah dijaga Oleh-Nya dari segala dosa. Tapi mulai dari masa itu pula kelompok-kelompok perusak (Madzahib Haddamah) mulai menggerogoti aqidah ummat Islam. Dengan mengambil sebagian ayat-ayat al-Quran atau menambahnya sesuai dengan selera atau ibarat makanan, memperindah bungkusnya. Sehingga tidak sedikit ummat Islam yang benar-banar jatuh ke dalam jurang kesesatan tanpa bisa menemukan cara untuk keluar darinya.
Seiring berjalannya waktu, bentuk dan settingnya pun mulai mengalami perubahan, ibarat sepak bola formasinya dirubah karena formasi yang lama sudah dibaca oleh lawan. Begitu juga dengan bentuk Madzahib Haddamah baru ini, ia senantisa mencari celah dimana kelemahan ummat Islam bisa dimasuki untuk diobok.
Pluralisme Agama adalah bentuk baru dari Madzahib Haddamah tersebut, karena ia hadir dengan menggerogoti Aqidah ummat Islam untuk selanjutnya dihancurkan. Tapi ia sejatinya lebih dahsyat dari Madzahib Haddamah yang telah lalu, kok bisa?
Jikalau Madzahib Haddamah yang terdahulu ia hanya berkisar pada tatanan masyarakat Islam itu saja, atau dalam kata lain, ia tidak menyeret orang-orang diluar Islam secara jelas, tetapi Pluralisme agama dengan sangat jelas tidak hanya menyeret orang non-Islam ikut bermain, tetapi mereka-mereka malah menjadi penyokong gerakan ini, sehingga segala fasilitas, sarana dan prasarananya telah tersedia dengan sempurna dan inilah yang sangat berbahaya. Disini Barat memiliki peran yang sangat besar.
Dana dan segala sarana semuanya telah tersedia dengan lengkap, The Asia Foundation, sebagai pemopong gerakan ini yang notabene adalah anak kandung dari Freemasonry, hadir dengan begitu agresif, yang mana sebelum-sebelumnya, bentuk Madzahib Haddamah yang lain belum pernah mendapat "durian runtuh" dari lembaga semacam ini. Dari sini dapat dilihat betapa dahsyatnya gerakan Pluralisme Agama yang diusung oleh Barat yang berkedok pencerahan, pembebasan, perdamaian.
Lebih dari itu, jikalau seandainya agama-agama selain Islam benar-benar konsisten dengan ajaran agama mereka seharusnya juga ikut merasa kena oleh sengatan Virus ini. Karena sejatinyanya Virus ini adalah berkeinginan meniadakan agama, yang ujung-ujungnya adalah meniadakan Tuhan itu sendiri. Tapi sayang, agama-agama tersebut malah ikut mem-back up tanpa mau ketinggalan, padahal sejatinya mereka sedang bahwa mereka sekarang sedang keluar dari kandang singa untuk masuk ke sarang buaya.
Penyebaran paham pluralisme agama di tengah masyarakat Muslim dapat dilihat sebagai bagian upaya Barat dalam mengglobalkan nilai-nilainya, dan meneguhkan hegemoninya, atau upaya misionaris Kristen untuk melemahkan keyakinan kaum Muslim. Pluralisme-sebagaimana sekulerisme- adalah sejenis senjata pemusnah massal terhadap keyakinan fundamental agama-agama. Kristen sudah mengalami hal itu, haruskah Islam juga demikian? Manusia yang beriman dan berakal sehat tentu akan menjawab "tidak".
Ulil, Dawam, Sukidi dkk. Apa Yang Anda Cari?
Dalam surah al-Baqarah dikatakan bahwa kebutaan hati akan membutakan segala indera yang dimiliki oleh Anak Adam, kebutaan hati menyebabkan semua anggota tubuh tanpa nilai, semuanya kabur karena tidak lagi memiliki peran; mata tidak lagi bisa melihat dengan jelas, telinga tidak lagi mendengar dengan jernih, hidung tidak lagi bisa membedakan antara yang harum dan yang bau, semuanya kabur, karena hati, sebagai sentral jiwa raga manusia, sudah buta dan mati.
Ulil, Dawam, Sukidi dkk, apa yang anda harapkan dari gerakan anda ini, adakah Tuhan masih bersemayan di hati anda, adakah Tuhan anda sudah berubah menjadi hawa nafsu anda, nafsu keserakahan dunia, seperti yang Allah katakan:
        
" Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?(,al-Furqan: 43)
Adakah hati kecil anda sudah buta dan mati, sehingga anda rela menjual agama anda hanya dengan materi duniawi yang tidak akan pernah menandingi materi ukhrawi? Dan apalagi yang anda cari selain itu?

*Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah dan Pemikiran Islam, ISID Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo.




:

Virus Baru Pemikiran Kontemporer

Mengenal Virus Pemikiran Kontemporer

Liberalisme dan sekulerisem diibaratkan seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya adalah produk yang selama ini selalu menjadi momok yang "menakutkan" bagi kalangan agamawan, karena keduanya merupakan virus pemikiran kontomporer yang tidak hanya hadir secara teoritis tetapai sudah masuk kedalam tahap aplikasi.
Sekulerisasi dan liberalisme mendapatkan tempat yang nyaman di barat, dan melalui kedua gerakan tersebut barat mampu mendapatkan kemajuan di berbagai bidang, sehingga tidak heran jika ummat Islam pun kepicut untuk mengadopsi keduanya untuk meningkatkan diri dari keterpurukan.
Berbicara liberalisme tentunya juga harus membawa isu sekularisme itu sendiri, karena keduanya pada hakekatnya adalah dua upaya yang memiliki tujuan yang sama. Kedua-duanya memiliki orientasi yang tidak bisa terpisahkan satu dengan yang lainnya,
Isu-isu leberalisme yang menyeruak ke permukaan saat ini sudah merupakan suatu bahan yang tidak dapat lagi kita kesampingkan dalam dunia intelektual, baik itu secara ekplisit maupun implisit. Walaupun sejatinya hal tersebut bukanlah hal baru atau juga bukan paradigma yang muncul secara kondisionil. Begitu juga dengan keberadaannya di Indonesia saat ini yang ternyata membuat kaum intelektual berusaha sekuat tenaga untuk menahan arusnya yang sangat deras merasuk ke berbagai aspek kehidupan ummat muslim khususnya. Kehidupan liberal yang merebak bak jamur di musim hujan di barat sana ternyata sudah tidak mengenal tanah kelahirannya lagi dikarenakan ummat Islam itu sendiri yang sudah menganggap liberalisme itu sendiri bukan lagi tamu yang harus diwaspadai, bahkan lebih parah dari itu sudah menganggapnya sebagai Ahlulbait dikarenakan mereka sendiri yang mengakplikasikannya di dalam segala aspek kahidupan sebagai pedoman tunggal yang mau tidak mau harus mendasarinya.
Sekulerisasi dan liberalisasi telah lama diperbincangkan keduanya menebarkan kekhawatiran bagi ummat beragama karena dianggap bertentangan dengan wahyu. Namun bagai telah menggurita, kedua hal ini telah tanpak menunjukkan taringnya dan digandrungi masyarakat global. Itulah sebabnya kalangan agamawan tak henti-hentinya menangkalnya dan berupayan melindungi ummatnya dari pengaruh dua hal tersebut.
Dengan banyaknya penyelewengan atas nama agama, maka merupakan sesuatu yang sangat esensial untuk menguak dan membeberkan nilai di balik liberalisme dan isme-isme yang lainnya yang singkron dengan hal di atas. Maka judul diatas penulis kira sangat pas untuk menganalisa segala macam bentuk penyelewengan atas nama agama tersebut, sehingga akan mempermudah kita dalam mengindentifikasikan virus yang terkandung di dalamnya.
Liberalisme yang marak kembali pada akhir-akhir ini tentu sangat meresahkan kita, ummat muslim, maka dari itu dari pembahasan kali ini penulis ingin mengungkap permasalahan di sekitar liberalisme itu sendiri, Apa nilai yang tersembunyi di balik itu semua?
Dengan maraknya praktik penyimpangan yang terjadi akhir-akhir ini dengan agama sebagai backgroundnya, maka sudah semetinya kita sebagai ummat muslim untuk lebih sedikit sensitive dalam menghadapi bentuk ancaman-ancaman terselubung tersebut. Dan tulisan ini sangat memungkin kita untuk menumbuhkan sensitivitas tersebut dalam guna mencegah terpelosoknya ummat lebih jauh sehingga mengakibatkan kehilangan sksistensinya di dunia ini sebagai khalifah.
I. Liberalisme dan Sekularisme Secara Etimologis
Liberalisme secara etimologis berasal dari bahasa latin, Liber, yang berarti bebas atau merdeka. Hingga abad ke 18 Masehi, istilah ini masih terkait dengan konsep manusia medeka semenjak lahir, ataupun setelah dibebaskan dari perbudakan. Sedangkan dalam perspektif filsafat, liberalisme beraarti sistem atau aliran yang menjunjung tinggi kebebasan dan kemerdekaan individu dan memberikan perlindungan dari bentuk penindasan. Lawan aliran ini adalah obsolutisme kekuasaan, despotisme atau aliran otoriter. Dan tentunya hal ini tidak hanya berlaku dalam bidang sosial saja tetapi juga telah merambat kedalam bidang agama. Jika didalam bidang agama, liberalisme berarti kebebasan menjalankan, menyakini dan mengamalkannya sesuai dengan selera masing-masing dan menjadikannya sebagai urusan individu.
Sedangkan sekulerisme berasal dari bahasa latin, saeculum, yang berarti zaman sekarang ini. Meurut Harvey Cox, seorang teolog dan sosiolog dari Harvad University, disebabkan kata “dunia” di dalam Latin maka istilah yng berbeda, yaitu mundus dan sauculum , maka kata dunia di dalam bahasa latin menjadi kata yang ambivalent. Ambivalensi kata “dunia” ini menurut Cox sebenarnya mengungkapkan problem teologis yang dapat ditelusuri kembali dari perbedaan konsep antara Yunani dan Ibrani. Orang Yunani kuno memandang realitas itu sebagai suatu ruang, sementara dalam bahasa Ibrani dunia itu menunjukkan suatu masa. Sebenarnya menurut Cox, inti dari makna “sekuler” itu sendiri adalah konteks dunia berubah terus-menerus. Dan akhirnya berujung pada kesimpulan bahwa nilai-nilai keruhanian relatif.
Sedangkan berdasarkan perspetif religius, sekular memiliki arti netral, atau “sepanjang waktu yang tak terukur” dapat pula bermakna negatif yaitu “dunia ini” yang dikuasai setan. Sedangkan menurut Naquib Al-attas perlu diketahui bahwasanya dalam Islam pun kata “’Ilmaniyah” pada dasarnya tidak lagi relevan dan tentunya hal tersebut lebih cocok dan dekat dengan kata “al-waaqi’iah” .hal tersebut dikarenakan dalam kata-kata sekularisme tidak berhadapan dengan ilmu dan tentunya sangat tidak relevan jika diartikan dengan “‘ilmaniah” dan sangat disayangkan jika hal tersebut semakin menancap dalam benak dan pikiran orang Islam.

II. Akar Historis dan Paham Sekulerisme liberalisme
Kekacauan yang saat ini menyelimuti dunia menurut Naquib Al-Attas adalah merupakan buah dari hegemoni dan dominasi keilmuan sekuler barat yang mengarah kepada kehancuran ummat manusia yang menganggap kebenaran fundamental dari agama dipandang sekedar teoritis, kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima, tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya adalah penegasian tuhan dan akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan tuhan dimanusaikan “God is human intelligent”.
Prof Syed Muhammad Naquib Al-attas memaparkan, dalam pengantarnya untuk buku Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, dasar dan kaedah yang melandasi pemikiran Barat dalam setiap lapangan adalah; kebergantungan semata kepada akal manusia untuk memandu kehidupan di dunia, dualisme dalam memahami pelbagai reality dan kebenaran, penekanan kepada unsur-unsur perubahan dalam kewujudan yang menayangkan pandangan alam yang sekuler, doktrin humansime dan yang paling mendasar adalah mengangkat drama dan tragedy sebagai elemen-elemen dominant dalam sifat dan kehidupan manusia.
Asal mula paham liberalisme dan sekulerisme adalah dikupas oleh Muhammad Abduh yang pertama kali mengupas masalah nasionalisme dan kebangsaan, mencermati sejarah Islam dahulu, dan dari situlah bermula dakwah mengajak kepada liberalisme dan mencari gaya hidup alternative.
Kekacauan dunia yang disebabkan oleh paradigma sekulerisme dan selanjutnya liberalisme Islam sebenarnya sudah dirasakan oleh ummat Islam itu sendiri, dan hal tersebut bermula dari semenjak peradaban Barat menguasai dunia. Dua peradaban besar tersebut -Islam dan Barat- sejatinya ssudah memiliki doktrin pundamental dalam memandang hidup dan kehidupan, yang saling bertolak belakang. Peradaban barat yang merupakan ramuan dari ajaran Kristen, Filasafat Yunani, dan tradisi Romawi memang bertentangan secara mendasar dengan pandangan hidup Islam. Oleh karena itu seperti yang dikatakan oleh Naquib Al-Attas hal tersebut merupakan akar dari adanya konfrontasi yang tidak berujung dan konflik abadi dari dua peradaban besar tersebut. Dan lebih jauh lagi, kaum Barat selalu memandang Islam sebagai musuh besar dan tidak lain merupakan seteru abadi dalam menancapkan dogma-dogma mereka. Lantas kenapa hanya ummat Islam itu sendiri yang merasa gerah dengan sekulerisasi? Kenapa kristen tidak lagi ambil pusing alias adem ayem saja dengan permasalahan yang satu ini?
Pertanyan diatas, tentunya telah dijawab dengan tuntas oleh Naquib Al-Attas, yang diringkas oleh Prof Dr. Wan Muhammad Nor Wan Daud, diantaranya adalah;1). Kebangkitan Islam di pentas sejarah telah menentang dakwaan agama kristiani sebagai agama universal untuk seluruh ummat manusia, 2). Sejak dari awalnya lagi, Al-Quran telah menggugat dasar-dasar akidah agama Kristen bahwa Allah swt bisa beranak dan bisa diperanakan, serta hakekat Nabi Isa serta ibunya Maryam, 3). Al-Quran juga telah menceritakan ahwal para ketua-ketua agama Yahudi dalam menyelewengkan ajaran-ajaran para Anbiya dari Bani Israel, 4) Islam telah mengubah tubuh dan jiwa orang-orang Barat secara revolusioner dalam bidang-bidang Linguistik, Sosial, Kebudayan, Keilmuan dan Ekonomi, 5) perluasan pengaruh Islam serta tanah taklukannya ke seluruh Timur-Tengah termasuk kawasan yang dulunya dimiliki oleh kerajaan Bizantium, India, dan Afrika dalam waktu yang begitu singkat dan 6) Islam mempunyai potensi untuk bangkit semula berdasarkan konsep tajdidnya dan mampu menantang hegemoni kebudayaan Barat di masa yang akan datang.
Menjawab pertanyaan tersebut, Naquib Al-Attas lebih jauh mengatakan bahwa agama Kristen yang merupakan agama mayoritas daripada peradaban Barat tersebut telah lama tersekulerkan, atau terbaratkan. E. L Mascall, dalam bukunya, the secularization of christianity, mengatakan: “…that instead of converting the world to christianity they are converting christianity to the world”
Kegagalan agama Kristen dalam menancapkan eksistensinya di bumi ini tidak lain dikarenakan oleh adanya pemisahan antara aspek-aspek transendent dengan aspek-aspek immanentnya, dari kehidupan jasmaniah manusia dalam hal kebutuhan fisiknya, serta hasrat-hasrat ekonomi dan politiknya.
Abul Hasan Ali Nadawi mengatakan, bahwa Eropa mengenalkan kepada orang-orang Timur konsep-konsep dan ideologi-ideologi yang berdasarkan pada penyangkalan pokok-pokok kepercayaan rohaniah dan penolakan terhadap kekuatan yang Maha Kuasa yang memegang kekuasaan atas seluruh alam, penolakan terhadap kesadaran unggul yang menciptakan dunia dan yang dalam kekuasaannya terletak takdir-Nya (sesungguhnya Dialah yang mencipta dan Dia sendirilah yang mengatur); konsep-konsep yang berasal dari penolakan tehadap yang ghaib dan yamg supranatural, wahyu ilahi, kerasulan dan nilai-nilai transendent. Inilah segi umum dari semua cabang pemikiran yang dibawa oleh Barat, tak peduli apakah berkaitan dengan biologi dan evolusi atau dengan etika, psikologi, politik atau ekonomi. Bagaimanapun beragam lapangan studi yang mereka tekuni, kesemuanya memiliki latar belakang pendekatan materialistik terhadap manusia dan dunianya serta penafsiran gejala itu sepanjang garis materialistis.
Jadi, keruntuhan moral dan sosial peradaban Barat disebabkan oleh dualisme yang tragis kedalam mana agama Kristen telah dipaksakan. Dari awal sekali, umat Kristen telah diajari bahwa etika dam moralitas tidak perlu mencampuri kehidupan nyata. Semua bencana yang sekarang mengguncang dunia adalah akibat dari dualisme itu tidak menarik garis tajam antara kemungkinan moral dan kepantasana yang baik sekali membebaskan untuk apa saja yang tidak bermoral, termasuk membolehkan darah orang lain yang tidak berdosa demi kesejahteraan bangsanya sendiri.
Kegagalan agama kristen tidak berhenti disitu saja, tetapi ia sudah gagal secara total, dikarenakan adanya inkuisisi yang berkembang pada saat itu. Kejahatan tersebut telah menghancurkan agama kristen itu sendiri sehingga tidak ubahnya seperti macan ompong di tengah hutan rimba. Seperti yang dikemukakan oleh Karen Amstrong bahwa institusi paling jahat dalam sejarah Kristen adalah inkuisisi dan akhirnya mereka jera dengan pengalaman tersebut.

III. Liberalisme dan Sekularisme di dunia Islam
Pada awalnya, liberalisme berkembang di kalangan Protestan saja. Namun dalam perkembangannya ia kemudian menyebar di kalangan Katolik juga. Para tokoh liberal seperti Benjamin Constan menginginkan agar pola hubungan antara institusi gereja, pemerintah dan masyarakat ditinjau kembali dan diatur lagi. Mereka juga dituntut untuk mereformasi terhadap doktrin dan disiplin yang dibuat oleh pihak gereja katolik Roma agar sesuai dengan semangat zaman yang terus berubah, agar sesuai dengan prinsip-prinsip liberal.
Keberadaan pemikiran liberalisme di kalangan barat ternyata membawa dampak dengan perkembangan peradaban itu sendiri, tetapi tidak dengan Islam. Lantas bagaimana ia bisa masuk ke seluruh aspek kehidupan Islam?
Nirwan Syarif dari International Institute of Islamic Thought and Civilization-International Islamic University Malaysia, mengemukakan bahwa isu seputar sekulerisasi dan liberalisasi telah lama diperbincangkan oleh para cendikiawan muslim, khususnya di dunia Arab, ia merupakan respon politik dan intelektual atas ketidakberdayaan ummat Muslim saat berhadapan dengan kekuatan Barat. Invasi Napoleon ke Mesir pada tahun 1798 telah menyebabkan ummat Muslim bertanya. Kenapa kita bisa kalah di hadapan Barat? Sehingga berkecamuklah pertanyaan di dada para pemimpin Islam saat itu. Bisakan kita seperti Barat dengan segala kesuksesannya? Sejak itulah banyak pemimpin Islam yang mengadopsi medernisasi Barat, terutama di bidang militer dan pendidikan.
Gerakan sekulerisme dan liberalisme di dunia Islam sejatinya dibawa oleh mereka-mereka, kaum modernis, yang merasa mampu merubah segala problematika yang dihadapi oleh ummat Islam, sehingga mereka membawa arus pemikiran mereka untuk diaplikasikan di dunia Islam itu sendiri. Diantaranya adalah; Rif’ah Ath-Thowi, Qosim Amien, Ali Abdul Roziq dan Ahmad Khalafallah dari Mesir, Muhamad Taleqani dari Iran, Sayyid Ahmad Khan dari India, dan Muhammad Iqbal Dari Fakistan.
Pada abad-abad terdahulu telah kita cermati sejauh mana kaum modernisme dahulu dan sekarang tertipu oleh berbagai peradaban modern yang sudah dirasuki oleh budaya paganisme atau kemusyrikan, bahkan mereka takjub terhadap peradaban tersebut, amat memuliakannya, sehingga sudi mengikutinya dan tunduk kepadanya. Kalangan modernis berkeinginan menghancurkan sisi-sisi yang membedakan antara agama dengan propaganda penyatuan agama atau persahabatan antar agama, untuk mencapai tujuan agama intenasional, dimana seluruh ummat manusia menjadi bersaudara. Itu merupakan legalisasi untuk memeluk agama selain Islam.
Tak seorangpun yang menyangka bahwa kaum Muslimin mau mengalah untuk tidak memberlakukan syariat mereka setelah syariat itu mereka tegakkan lebih dari tiga belas abad. Kita sendiri juga tidak menyangka bahwa sebagian dari mereka yang berbicara dengan bahasa kita secara tega meruntuhkan syariat Allah serta menggantinya dengan undang-undang positif manusia bumi, atas nama reformasi dan reaktualisasi ajaran agama.
Tetapi itulah yang terjadi dengan ummat Islam saat ini. Hanya dengan embel-embel modernisasi mereka pun rela menggantikan ideologi yang mengantarkan mereka ke puncak peradaban jauh meninggalakan barat itu sendiri yang masih mencari jalan untuk keluar dari cengkraman kediktatoran gereja. Lantas apa hakekat modernisem itu sendiri?
Modernisme agama adalah upaya untuk menempatkan kembali nilai-nilai tradisional dalam pandangan pemikiran kontemporer. Ia berkeyakinan bahwa agar agama bisa relevan dengan kondisi-kondisi dan kebutuhan-kebutuhan modern, ia harus dipaksa menyesuaikan diri secara harmonis dengan norma-norma kontemporer. Orang-orang modernisme menilai agama dengan kriteria materialistik dan segala sesuatu dalam agama yang bertentangan dengan kriteria materialistik itu harus dijelaskan kembali, ditafsirkan kembali secara semau-maunya atau dibuang sebagai sesuatu yang tidak perlu. Motto kaum modernisme adalah "agama harus tetap sejalan dengan zaman”.
Dari itu semua kita mengetahui bahwa pada hakekatnya apa yang diperjuangkan oleh Islam liberal tidak jauh berbeda dengan modernisme. Di antaranya adalah demokrasi, pembelaan hak-hak perempuan, kebebasan bersuara, dan masa depan kemajuan umat manusia. Tema-tema yang diangkat memeneriakkan impresi bahwa siapapun yang rasional tidak mungkin menolak perjuangan mereka. Benarkah demikian adanya?
Kholif Muammar Harris, kandidat PhD di ISTAC-IIUM, Kualalumpur, Malaysia mengatakan hal tersebut hanyalah bualan belaka, dan tidak lebih dari keinginan mereka untuk menutupi tema-tema yang selalu menjadi perdebatan hangat di kalangan ummat Islam, keinginan mereka pada hakekatnya adalah; penolakan syari’at, pluralisme agama, kebebasan berijtihad, penolakan terhadap otoritas agama dan hermeneutika.
Tentunya dengan berbagai fakta yang ada tidak mengherankan jika timbul gejala yang demikian yang sangat meresahkan masyarakat luas. Yang tidak hanya nyeleneh tetapi juga sesat dan menyesatkan.
Kekacauan-kekacauan seperti itu, baik disengaja atau malah sudah diprogramkan semenjak mereka belajar di Barat, sebenarnya telah mencampuradukkan hal-hal yang bertentangan satu dengan yang lainnya, dijadikan dalam satu wadah dengan satu sebutan: modernis atau pembaharu. Baik itu dibikin oleh ilmuan Barat yang membuat kategorisasi ngawur-ngawuran itu berdisiplin ilmu sosiologi seperti Kurzman, maupun orang Indonesia alumni Barat yang lebih menekankan filsafat dari pada syari’at Islam seperti Dr Harun Nasution dan aktivis lainnya yang telah merancukan esensi dari kata pembahari itu sendiri yang mana hal tersebut sudah direkomendasikan oleh Rasullah saw. Penyelewengan kata (pembaharu) itulah yang akhirnya melegalkan sipilis di dunia Islam pada umumnya.
Dan perlu kita ketahui bahwa filsafat humansitik evolusioner dimulai dengan premis yang menyatakan bahwa agama adalah bikinan manusia dan sejalan masa prasejarah hingga sekarang senantiasa berkembang sesuai kebutuhan-kebutuhan manusia. Karena pengetahuan manusia dan cakrawala mental semakin besar dengan pengalaman, konsep-konsep lama harus dibuang sebagai sesautu yang tidak sesuai dengan zaman.

IV. Liberalisme dan Sekularisme di Indonesia
Gerakam leberalisme di Indonesia khususnya dan negara-negara Islam pada umumnya, pada awalnya dibungkusnya dengan label meodernisme, hal tersebut seperti yang diusung oleh kaum intelektual muda yang saat itu sedang giat-giatnya belajar di mesir seperti universitas Al-azhar yang kebanyakan mereka selalu mengusung ide-ide modernisme yang ditawarkan oleh Muahammad Abduh yang kontroversial. Dan mereka mencoba menawarkan ide-ide mereka sekembalinya mereka ke tanah air, walaupun ide-ide mereka banyak ditentang oleh kaum tua (konservatif) yang berusaha mereduksi ide-ide tersebut dan saling menancapkan gagasan-gagasan dan pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat.
Begitu juga dengan mereka-mereka yang berlajar di negara barat, sekembalinya mereka dari barat tersebut merekapun mulai menancapkan ide-ide mereka kepada kalangan intelektual muda, ia bergandengan dengan Abdurrahman Wahid dalam melancarakan aksinya, dan dibantu secara diam-diam oleh Djohan Effendi, dan akhirnya mereka membentuk generasi baru intelektual islam. Melalui input-input berharga, mereka mengenalkan cara berpikir baru kepada banyak inelektual muda muslim terbaik di Indoesia.
Lantas bagaimanakah paham liberal itu bisa masuk ke Indonesia? Menjawab pertanyaan tersebut Adian Husaini menyebutkan beberapa tokoh-tokoh agama dan juga para aktivis di Indonesia seperti; Ulil Abshar Abdallah, coordinator jaringan islam liberal, Prof Dawam Raharjo, Prof Dr K.H Said Aqil Siradj, Dr Alwi Shihab, Dr Abdul Munir Mulkhan, dan juga masih ada lagi aktivis-aktivis organisasi Islam dan penulis-penulis yang aktif menyebarkan paham liberal islam di Indonesia.
Adapun buku yang sangat berpengaruh terhadap penyebaran liberalisme di Indonesia adalah karya kontroversial dari seorang Lonard Binder, yang mengungkapkan sepuluh butir relevansi liberalisme di Indonesia. Dalam salah satu butirnya ia mengatakan bahwa penolakan liberalisme di Timur Tengah atau dimanapun termasuk di Indonesia itu sendiri bukanlah persoalan perbedaan moral atau politik. Dan ia mengatakan lebih lanjut bahwa gerakan-gerakan modernisme di Indonesia penuh dengan semangat ketimur-tengahan. Padahal menurut George Stauth itu sendiri, observasi yang dilakukan oleh Binder secara pundamental sangat cacat dan sama sekali nol dan tidak ada.
Leberalisme yang menjadikan sekulerisme sabagai program pentingnya dalam gerakan-gerakan yang dilakukan tokohnya khususnya di indonesia seperti Ulil Absor Abdallah, Nurkholis Majid, Dawam Raharjo dan aktivis-aktivis lainnya . Dan hal ini sudah merupakan bentuk dari perjuangannya dalam upaya membentuk negara sekuler.

V. Esensi Liberalisme Sekulerisme
Dari berbagai macam bentuk pemikiran dan paham yang muncul dewasa ini jelas sekali kalau paham liberalisme dan sekulerisme merupakan musuh utama yang harus kita waspadai. Lantas sekarang apa orientasi di balik itu semua jika kita relasikan dengan dunia Islam saat ini? Dan apa saja watak dari Islam liberal itu sendiri?
Ada diantara mereka yang secara terus terang mengungkapkan dalam buku-buku mereka bahwa mereka berniat menghancurkan Islam, karena terpengaruh oleh pemikiran nasionalisme sekuler dan sayap kiri komunis. Dan diantara mereka juga ada yang berusaha memunculkan sikap keragu-raguan di kalangan fanatis Islam dengan berbagai terminology bid’ah yang sulit dicerna pengertiannya, atau dengan cara membolak-balikkan realitas ajaran Islam sejati dengan pemikiran dan gerakannya. Mereka yang menempatkan orang-orang yang menyimpang dan tersesat sebagai para pemikir yang bijaksana dan revolusioneris. Sementara para ulama islam dotempatkan sebagai kalangan yang kolot konservatif, mayoritas modernisme termasuk yang kedua ini.dan ada juga yang berupaya mencarikan solusi dari problematika yang dihadapi orang Islam itu sendiri demi kepentingan politik yang menjadi tujuannya, dan ada juga yang berawal dari niat baik, upaya untuk berijtihad, hanya saja ia terperangkap dalam berbagai konseptual westernisasi yang terjejali ke dalam otaknya saat melakukan studi di nergeri-negri Barat. Atau setidaknya masih terpengaruh oleh pemikiran mu'tazilah. Atau bisa jadi seluruh pemikiran tersebut secara akulmulatif tersusun didalam otaknya. sehingga menyebabkan terjadinya goncangan, kerancuan dan kontradiksi dalam pemikirannya.
Paham liberalisme dan sekulerisme yang dibungkus dalam kemasan modernisme yang notabene adalah pemekaran dari westernisasi itu sendiri syarat dengan berbagai kepentingan. Dan sudah merupakan rahasia umum jika kedua paham tersebut didasari stigmatisasi dan fobia terhadap islam itu sendiri di mata mereka.
Lebih lanjut Lathifah Ibrahim Khadhar mengungkapkan hakekat di balik keinginan Barat dalam mengkampanyekan modernisme dan demokrasi tersebut adalah hanya alasan ketakutan mereka terhadap negara-negara Islam diwarnai demokrasi, agar tidak muncul republik-republik Islam yang kuat. Barat memang fobia terhadap Islam, dan sudah barang tentu mereka tidak mau kaum muslim memiliki kekuatan.
Kebencian terhadap Islam itu sendiri pada hakekatnya telah lama muncul semenjak permulaan lahirnya dakwah itu sendiri, bahkan jauh sebelum lahirnya dakwah, karena Islam telah disebutkan dalam kitab-kitab agama sebelum Al-Quran. Permusuhan dan ketakutan terhadap Islam itu terus bertambah setelah penaklukan Andalusia. Ketakutan itu kemudian berusaha menjadi bentuk usaha konspirasi atas Islam, terlebih setelah kekuasaan Daulah Utsmaniah menembus jantung Eropa.
Cromer, seorang presiden Mesir dibawah kekuasaan inggris menyatakan: "aku datang ke mesir untuk menghapus tiga hal: Al-Quran, Ka'bah dan Al-azhar". Adapun Wilfred Blint seorang spion inggris juga memiliki hubungan lama dengan Muhammad abduh, hubungan itu berkaitan dengan hubungan gurunya Jamaluddin Al-afghoni dengan Wilfred. Demikian hubunganya dengan revolusi arab. Sepulang dari pembuangan ia tinggal berdekatan dengan Muhammad abduh, Blint menggambarkan dakwah ishlahiah bahwa fokusnya adalah reformasi liberalisme terhadap ajaran agama. Lembaga pemikiran ini ia komentari sebagai lembaga pemikiran yang betul-betul kompleks dan kosmopolitan".
Sedangkan Hamim Tohari memaparkan beberapa watak dari liberalisme yang diusung oleh mereka yang menganggap diri mereka sebagai kalangan pembaharu, diantaranya adalah bahwa kalangan liberal secara langsung ingin mengkritik Al-Quran dan kandungannya yang menurut pemahaman mereka tidak lagi sesuai dengan logika keadilan gender, HAM, dan agenda kemanusiaan yang mereka usung. Mereka mengajak kaum muslimin untuk melakukan reintrepretasi (penafsiran ulang ), membongkar habis, atau meninggalkannya sama sekali.

Mengintip Liberalisme di Indonesia
Gerakan sekularisasi dan liberalisasi Islam di wilayah peradaban melayu khususnya Indonesia, telah berjalan dengan sangat serius dan mengkhawatirkan, karena gerakan tersebut telah mendapat sokongan dari tokoh dan para cendekiawan muslim. Negara-negara Barat juga sangat setuju dengan gerakan sekular-liberal tersebut, dengan memberikan sokongan dana melalui yayasan-yayasan seperti Ford Foundation, Asia Foundation, Sorosh Foudation, dan sebagainya. Ummat Islam yang tidak setuju dengan gerakan Islam liberal dimasukkan ke dalam golongan Islam Radikal, yang diberi image seakan-akan golongan ini adalah kelompok Fundamentalis, militan, yang dekat dengan teroris.
Sedangkan menerut Luthfi Assyaukani, kemunculan liberalisme di Indonesia sudah mulai populer semenjak tahun 50-an, tapi baru mulai berkembang pada tahun 1980-an oleh tokoh dan sumber rujukan komunitas liberal, Nurkholis Madjid alias Cak Nur, meskipun Cak Nur tidak pernah menggunakan istilah Islam Liberal untuk mengembangkan gagasan pemikiran Islamnya. Tapi ia tidak menentang ide-ide Islam liberal. Dan gagasan tersebut dikembangkan lewat sebuah organisasi yang diberi nama Jaringan Islam Liberal atau JIL dari Paramadina.
Aktivitas dari para pentolan atau aktivis jaringan islam liberal atau yang lebih dikenal dengan JIL di Indonesia sangat mudah untuk dicermati dan diamati. Begitu juga dengan visi dan misi mereka yang nampak dari mereka sendiri baik secara implisit maupun secara eksplisit. Wartawan majalah Hidayatullah suatu hari pernah mewawancarai Hamid Basyaib, Koordinator sementara jaringan Islam liberal yang menggantikan koordinator utamanya Kholil Abshor Abdallah, di kantornya, dengan santainya dan tanpa risih dengan wartawan di depannya ia mencolek dagu sekretarisnya, seorang cewek yang berpakaian rok mini. Hal tersebut jelas sudah menunjukkan sikap yang mencerminkan sebagai seorang yang tidak memiliki moral yang baik, otoritas keilmuan yang memadai, apalagi untuk mengklaim dirinya sebagai orang yang lebih tahu masalah agama, seperti yamg mereka dengung-dengungkan akhir-akhir ini. Semua dari kita sudah sangat paham sekali dalam tradisi islam, ulama yang diakui secara luas adalah mereka yang memiliki moral yang tinggi. Dan disinilah letak dari tradisi Islam dan Barat. Adian Husaini mengatakan dalam sebuah seminar di jakarta yang membahas tentang sekulerisme dan liberalisme, bahwasanya ada perbedaan antara tradisi Barat dan tradisi Islam. Islam memadukan antara konsep ilmu dengan akhlak. Ilmuan dalam Islam harus orang-orang yang memiliki akhlak yang baik. Begitu mereka berakhlak buruk maka tidak diterima sebagai ulama. Jika mereka merawikan Hadist maka barang tentu dianggap sebagai pembohong. Dan inilah yang tidak dimiliki oleh ilmuan barat, sehingga sulit bagi kita untuk menjadikan mereka sebagai contoh ideal apalagi mengikuti pola pikir mereka.
Dan lebih mencengangkan lagi bahwa Komunitas Utan Kayu (KUK) di kawasan Jakarta yang selama ini menjadi markas besar segala aktivitas JIL di negara ini ternyata tidak sedikitpun menunjukkan tempat yang representative sebagai pusat keilmuan. Sorang wartawan dari majalah Hidayatullah yang pernah mengunjungi tempat tersebutpun tercengang dengan suasana tempat tersebut yang terpampang di salah satu sudut ruangnya gambar wanita (maaf) telanjang, dengan Bir dan minuman beralkohol lainnya yang mudah didapat di lantai atasnya. Dan buku-buku yang berjejer di rak-raknya pun dipenuhi oleh buku yang banyak menjual buku-buku pemikiran seperti masalah sosialisme dan kesetaraan jender. Astaghfirullah…

VII. Bahaya Liberalisme
Jika kita tinjau kembali lebih saksama, maka kita akan menemukan realita dari bahaya yang dikumandangkan oleh para kaum modernis yang membungkus pemikiran mereka dengan standar ganda dan sarat akan kepentingan, begitukah?
Hamid Fahmi Zarkasyi, Direktur INSIST dan pemimpin redaksi Jurnal Islamia, dalam sebuah artikelnya mengatakan dengan tegas bahaya dari liberalisme itu sendiri yang sarat dengan kepentingan, sebab liberal adalah posmodernis, dan posmodernis adalah pendukung pluralisme, anti fundamentalisme, banyak protes terhadap tradisi, dan cara berpikirnya eklektis (pilih-pilih). Karena pemikiran tersebut untuk kepentingan, jadi tidak salah jika di dalamnya terdapat kepentingan politik.
Untung Wahono dalam sebuah kajian, memaparkan beberapa bahaya yang dapat ditimbulkan oleh paham liberalisme terhadap ummat muslim khususnya di Indonesia yang memang jauh dari pembinaan, di antaranya adalah; Pertama, dapat terjadi pergeseran dalam esensi kehidupan keberagaman kaum muslim dari keberagamaan yang bersifat samawi menjadi bersifat duniawi yang semata-mata mengagungkan akal (rasional). Kedua; dapat terjadi pembalikan peran-peran dalam keidupan keagamaan terutama menyangkut peran kitab suci Al-Quran. Yang semula Al-Qur’an mengangkat derajat manusia menjadi sekedar legitimasi terhadap perubahan masyarakat yang hanya dilandasi nafsu serakah dan kepentingan-kepentingan kelompok. Ketiga; dapat terjadi pendomplengan ideologi di luar Islam terhadap gerakan pemikiran Islam untuk mewujudkan tujuan-tujuan jahat mereka.
Sedangkan Hamid Fahmi Zarkasyi, mengemukakan bahaya di balik tersebut adalah munculnya kebebasan seluas-luasnya dengan mengesampingkan agama, lembaga-lembaga yang memiliki wewenang dalam mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan dan tidak ada lagi absolutisme tuhan, dan sudah barang tentu akhirnya akan menjurus ke dalam paham sekulerisme; agama tidak boleh masuk ke dalam ruang-ruang yang bersifat imannent.
Sedangkan Hartono Ahmad Jaiz lebih senang menguraikan bahaya Liberalisme dengan apa yang ditunjukkan oleh para aktor liberalsme dan sekularisme yang menyamakan semua agama yang ujung-ujungnya meniadakan agama itu sendiri dan menyamakan tokoh-tokohnya dengan Gatoloco dan Darmogandul, dua orang yang pertama kali menolak syari’at islam di tanah Jawa dengan qias/analog yang dibuat-buat, yang mana mereka mengatakan bahwa babi yang dibeli itu lebih baik dari pada kambing curian. Sedangkan kaum liberal sekarang menolak syari’ah karena menganggap fiqih sudah kehilangan relevansinya dengan analog/qias yang dibuat-buat.
Sedangkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan bahwa apa yang dibawa dan didengung-dengungkan oleh para aktivis sipilis tidak jauh berbeda dari apa yang dibawa oleh kaum jahiliah dahulu, yang mana mereka berbicara tentang agama tetapi pada hakekatnya apa yang mereka bicarakan tidak ada dalam ilmu mereka.
Jauh hari sebelumnya, Prof Dr Hamka telah menguraikan bahaya dari sekularisme dan liberalisme, bahwa itu semua adalah bagian dari penjajahan ideologi dan tentunya hal tersebut tidak lain adalah anak kandung dari kristenisme dan zionisme yang telah lama bersatu ingin menghancurkan Islam yang sedang bangkit. Salah satu dari ideologi itu adalah kalau sekiranya kaum muslim tidak juga menukar agamanya, hendakklah diusahakan agar mereka jauh dari ajaran Islam. Yang teutama hendaklah rusakkan mentalnya dan rusakkan akhlaknya.

VIII. Bagaimana sikap kita?
Ibarat sebuah virus yang ganas yang hampir merenggut nyawa seseorang, maka virus tersebut pun menjadi sesuatu yang menakutkan untuk kedepan, dan menjadi sebuah pelajaran yang sangat berharaga yang dapat diambil untuk tidak terjerumus kedua kalinya di lubang yang sama. Begitu juga dengan liberalisme dan sekulerisme yang menjadi momok menakutkan bagi ummat islam itu sendiri. Ummat yang sudah kecolongan baik akidah, maupun pola hidupnya sudah saatnya mengambil pelajaran dari itu semua untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Walaupun musuh itu sendiri memang selalu hadir dalam setiap waktu dan sepanjang zaman. Dan hendaklah menjadikan musuh tersebut sebagai tolak ukur sejauhmana keberdayaan dan kemampuan kita menghadapinya. Dan tentunya mengambil segi positif dari itu semua. Prof Dr Wan Mohd Nor Wan Daud dalam sebuah wawancara dengan harian Republika mengemukakan bahwa ada aspek-aspek dimana ummat Islam bisa menerima sekularisasi dan leberalisasi. Yaitu keinginan untuk membebaskan diri dari kejahiliyahan dan kemiskinan dan tidak menerima hal yang tahayul. Namun aspek sekelurisasi dan liberalisasi yang ingin menghapuskan wahyu, ruh, ataupun kepercayaan kepada alam akhirat tak perlu kita terima.
Jadi memang tak harus ditolak mentah-mentah semuanya. Namun ada sejumlah aspek yang dapat kita serap. Kemudian langkah selanjutnya adalah melakukan islamisasi. Sebagai contoh, pada saat berkembangnya filsafat Yunani ummat Islam mampu menerima, namun kemudian mengislamisasikan dan mengembangkannya sehingga menjadi sebuah aliran filsafat tersendiri.
Sedangkan Adian Husaini mengungkapkan bahwa ummat Islam dalam memandang sekulerisme dan liberalisme dituntut untuk bersikap lebih kristis, dan jangan silau dengan keberhasian Barat dalam segala bidang ilmu pengetahuan sehingga mengambilnya dengan membabi-buta. Dan hendaknya mengambil pelajaran dari Turki yang sampai sekarang kemajuannya masih stagnan dikarenakan kaum intelektual muda mereka yang terlalu bersemangat dalam mengadopsi peradaban Barat. Padahal pada hakekatnya Barat sampai sekarang masih gagal dalam mewujudkan manusia yang berperadaban.
Sedangkan Hamim Thohari memberikan beberapa trik dalam menghadapi kesesatan dan penyesatan kelompok yang berwatak mirip dengan orang kafir itu, dia antaranya adalah; pertama, jangan kalap. Kita tidak boleh tersinggung dengan penghinaan yang mereka lakukan terhadapp agama kita, walaupun mereka sendiri mengaku bagian dari Islam. Karna kita sadar bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah skenario barat yang ingin mengadu domba dan memecah-belah ummat muslim sendiri. Kedua, selalu waspada dengan apa yang mereka lakukan dan tersus mengikuti perkembangan mereka, sejauh mana mereka menyusupi celah-celah kehidupan kaum Muslimin dan seberapa besar kerusakan yang mereka timbulkan dan tidak kalah pentingnya menggunakan iklim demokrasi dan kebebasan pers untuk menetralkan racun-racun yang mereka tularkan melalui langkah-langkah konstitusional (seperti fatwa MUI), maupun dengan menggencarkan pemikiran yang lurus lewat media massa yang tentunya tidak berpaham sekular-liberal. Ketiga; untuk membentengi diri dan keluarga kita serta ummat pada umumnya hendaknya kita melakukan kajian ilmiah yang intensif dan kaffah terhadap ajaran Islam, baik yang mereka jadikan objek serangan maupun keseluruhan ajaran Islam itu sendiri.
Maka tidak ada sikap yang lebih pantas untuk kita kedepankan saat berhadapan dengan mereka selain mengambil sikap tegas, Menolak “Sipilis” (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme) yang selalu menjadikan dunia sebagai Top Grade dari apa yang mereka cari dan perjuangkan.
Tetapi perlu dietahui disini bahwa Islam tidaklah berpandangan sempit atau terbelakang. Malahan ia siap bekerjasama denga segala hal yang baik, ia terus maju dalam segala perwujudannya yang asli dan sehat. Mengenai hal yang disebut terdahulu, hukum Al-Quran adalah sebagai berikut; "bekrjasamalah dalam kebajikan dan kesalehan (dengan semua ummat manusia)".dan mengenai yang disebut kemudian Rasulullah saw telah berkata: "semua hikmah (ilmu) adalah milik yang hilang dari orang yang beriman. Ia harus memungutnya di mana pun menemukannya".
Satu-satunya hikmah (ilmu) yang dapat diberikan Barat kepada kita adalah prestasinya di bidang teknologi. Islam tidak meletakkan rintangan di jalanan untuk memperoleh hikmah ini bagi muslim. Akan tetapi Budaya Nafsu Barat adalah racun berbisa yang amat keras dalam segala aspeknya. Pengambil-alihannya berarti tidak akan kurang dari pada penghancuran islam. Lebih jauh lagi, Islam bertujuan pada suatu Budaya yang mengandung diri sendiri dan peradaban yang menopang diri sendiri, dan dengan demikian tak mungkin membolehkan seorang pun menggantikan dasarnya atau meukarkan prinsip budayanya denga cita norma yang asing.
Dan merupakan sesuatu yang lumrah jika peradaban yang stagnan akan berupaya untuk melihat dan melirik kemajuan yang sudah mapan dan kemudian mengambil sedikit darinya ataupun sebagian darinya untuk keperluan peradabannya. Sejauh apa yang diambil masih dalam tahap kewajaran, karena semua peradaban harus memilik ciri dan karakteristik sendiri. Begitu juga dengan peradaban Islam yang masih jalan di tempat harus lebih banyak lagi bergesekan dengan peradaban yang lebih maju, tetapi sekali lagi tetap pada karakteristik, bahwa kekuasan Tuhan-lah yang absolut dan syariat-Nya lah yang kita jadikan landasan dan pijakan utama. Dengan menjunjung tinggi anugerah-Nya yang tidak ternilai (Akal) dan menempatkannya sebagai lampu penerang yang mampu menerangi jalan yang masih gelap ataupun gelap sama sekali.

F. Kesimpulan
Sipilis adalah rangkain gagasan dan pemikiran yang bertindak sebagi aktor penghancur kelangsungan dan eksistensi ummat manusia dibumi ini dengan berbagai kemasan yang membungkusnya (modernisme, pembaruan, hermeneutika dll) yang akhir-akhirnya adalah menjadikan akal sebagai sesuatu yang agung, dan kebenaran agama sebagai kebenaran yang relatif. Semua orang berhak menafsirkan hidup keberagamaannya, dan bebas dalam menjalankanya tanpa ada yang mengatur. Barat, peradaban dan kebudayaannya, yang bersifat populis haruslah kita waspadai, karena secara konseptual dampaknya sangat dahsyat. Ia tidak hanya mampu mengubah konsep sejarah secara agresif, tetapi juga mengubah sikap orang terhadap agama menjadi skeptis. Agama dan kitabnya hanyalah buah dari imajinasi manusia yang bersifat profan, kering dan dapat depermainkan dengan nafsu liar.
Sipilis tidak hanya berdampak pada kerancuan kelangsungan hidup tetapi juga berdampak pada kerancuan hakekat hidup itu sendiri, karena mengembalikan manusia pada alam dimana segalanya diatur oleh diri sendiri, Tuhan tidak punya peran apalagi agama. Na’udzubillah…sesungguhnya tidaklah kami ciptakan manusia kecuali untuk beribadah kepada-ku. Wallaahua’lam.

G. Penutup
Dari pembahasan di atas, tentunya kita memiliki gambaran yang jelas tentang nilai-nilai tersembunyi di balik liberalisme itu sendiri sehingga kita dituntut untuk lebih waspada dengan ancaman-ancaman yang lebih bahaya, karena ia laksana musuh dalam selimut yang sulit untuk dideteksi dengan jelas. Karena selalu menggunakan topeng dengan ummat agama sebagai kendaraannya. Semoga kajian yang sederhana ini bisa membuka cakrawala berpikir kritis kita di masa yang akan datang. Amien……

H. Saran
Pembahasan sekitar liberalisme, sekularisme dan isme-isme yang lainnya adalah pembahasan yang bersifat cotinuitas, atau selalu mengalir dan tanpa batas waktu. Karena hal tersebut selalu menimbulkan masalah yang selalu berbenturan dengan segala macam kepentingan yang selalu berubah dan muncul setiap saat. Maka dari itu penulis menghimbau kepada pengkaji selanjutnya untuk lebih giat lagi dalam mengkaji hal-hal seperti ini, dan menjadikan karya ini sebagi batu loncatan (steping Stone) untuk lebih mengena dan fokus dalam membentengi aqidah ummat yang semakin merosot ini.






I. Daftar Pustaka
1. Husaini, Adian, wajah Peradaban Barat, Gema Insani, Jakarta, 2005
2. An-Nashir, Muhammad Hamid, Menjawab Modernisasi Islam, Darul haq, Jakarta
3. Rabbani, Captain Wahid Bakhsh, Sufisme Islam, Sahara Publisher, Jakarta 2004
4. Nadawi, Abu Hasam Ali, Benturan Barat-Islam, Mizan, Bandung 1985
5. Jamilah, Maryam, Benturan Barat-Islam, Mizan, Bandung, 1985
6. Khadhar, Lathifah Ibrahim, Ketika Barat Memfitnah Islam, Gema Insani, Jakarta 2005
7. Zarkasyi, Hamid Fahmi MA, dkk, Tantangan Sekulerisasi dan Liberalisme di Dunia Islam, Khoirul Bayan, Jaksel, 2004
8. Wahab, Syaikh Muhamad Bin Abdul, Mewaspadai 100 Perilaku Jahiliya, Pustaka eLBA, Surabaya 2005
9. Hamka, Prof Dr, Ummat Islam Menghadapi Tantangan Kristen dan Sekularisasi, Panjimas, Jakarta 2003.
10. Jaiz, Hartono Ahmad, Bahaya Islam Liberal, Pustaka Al-kautsar, Jakarta 2002.
11. Barton, Greg Ph.D, Gagasan Islam Libeal Di Indonesia, Pustaka Antara, Jakarta 1999
12. Republika, Dialog Jum'at, Edisi 5 Maret 2005
13. Hidayatullah, Edisi 1/xix Mei 2006/Rabi'uts tsani 1427 H
14. Hidayatullah, Edisi 3/XIX Juli 2006
15. Hidayatullah, Edisi 4/XIX Agustus 2006
16. Hidayatullah, Edisi 05/XVIII September 2005.
17. Hidayatullah, Edisi 7/XVII Nopember 2004
18. Hidayatullah, Edisi 7/XVIII Nopember 2005
19. Hidayatullah, Edisi 08/XVIII Desember 2005
20. Hidayatullah, Edisi 11/XVIII Maret 2005